Sabtu, 12 Juni 2010

Perjalanan Paradigma Gender di Masa Pra Kemerdekaan Novel belenggu karya Armijn Pane (1940)

oleh: Agnes Mayda I

Siapakah Armijn Pane
Armijn Pane dilahirkan di Muara Sipongi Tapanuli Selatan pada 18 Agustus 1908. Bakat mengarang ini diwarisinya dari ayahnya Sutan Pengurabaan. Armijn pane adalah seorang pengarang, dan juga seorang pendiri majalah Poedjangga Baroe.
Armijn Pane mengecap pendidikan dari HIS di Padang Sidempuan, dan Tanjung Balai, kemudian pindah ke ELS di Sibolga dan Bukittinggi, lalu masuk ke Stovia di Jakarta. Pada tahun 1927 pindah ke NIAS di Surabaya tetapi tidak lama kemudian ia pun keluar. Karena menganggap dirinya lebih cocok di sastra, sehingga akhirnya iapun masuk AMS Yogyakarta dan mengambil jurusan Sastra Klasik Barat. Setelah menyelesaikan pendidikannya, Armijn Pane memualai karir kewartawanan pada koran Soeara Oemoem di Surabaya pada tahun 1932, kemudian di mingguan Penindjauan tahun 1934 dan surat kabar Bintang Timoer tahun 1953. selain bergelut dalam dunia jurnalistik, ia pernah menjadi Pamong Taman Siswa di berbagai kota di Jawa Timur, kemudian menjadi redaktur Balai Pustaka di Jakarta.

Paradigma Gender dalam Roman
Novel Belenggu karya Armijn Pane pernah memunculkan kontroversi di kalangan sastrawan Indonesia di tahun 1940 an. Karya ini pernah ditolak oleh BAlai Pustaka namun juga mendapat dukungan dari H.B Jassin yang menyatakan bahwa Belenggu merupakan karya sastra modern Indonesia yang pertama menggambarkan kehidupan kaum intelektual sebelum perang.
Penolakan Balai Pustaka terhadap karya Armijn Pane lebih disebabkan oleh pendobrakan Armijn Pane terhadap sekat-sekat tabu masyarakat yang dianggap sebagai batasan bagi sebuah karya. Belenggu memang sebuah roman klasik yang bercerita mengenai polemic percintaan. Namun, tidak sekedar konflik percintaan yang Ia hadirkan dalam karya ini. Armijn Pane mengemas latar belakang kenyataan moral yang ada dalam masyarakat dan membenturkannya pada paradigma ideology modernisasi yang sedang berkembang di Indonesia pada masa itu, dalam hal ini adalah paradigma gender atau yang kini lebih dikenal sebagai feminisme.
Dalam kajian feminisme, Armijn Pane setidaknya memberikan dua contoh kasus nyata yang ia ungkap dalam penokohan. Yaitu pada tokoh Sumartini atau Tini dan tokoh Rohayah atau Yah. Kedua tokoh ini memiliki cara pandang yang berbeda dalam perspektif gender. Kehadiran kedua tokoh ini juga ditambahkan dengan tokoh nyonya Rusdio yang memiliki pandangan konservatif mengenai fungsi perempuan dalam keluarga. Sekat-sekat moral yang dianut oleh masyarakat mengenai paradigma gender dimunculkan oleh Pane melalui tokoh nyonya Rusdio dan perbincangan-perbincangan orang mengenai tokoh Sumartini.
Tokoh Sumartini digambarkan oleh Pane sebagai seorang perempuan modern yang mandiri, teguh berpendirian dank eras hati dalam menuntut kesamaan hak dirinya terhadap suaminya. Melalui tokoh Sumartini ini, pembaca diperkenalkan oleh Pane dengan ide Feminisme Liberal atau pada masa itu lebih dikenal sebagai paradigma emansipasi. Pandangan feminis liberal berasal dari pernyataan bahwa mengapa kaum perempuan terbelakang adalah “salah mereka sendiri”, karena tidak bisa bersaing dengan kaum laki-laki. Asumsi dasar mereka adalah, bahwa kebebasan dan equalitas berakar pada rasionalitas. Oleh karena itu, dasar perjuangan mereka adalah menuntut kesempatan dan hak yang sama bagi setiap ‘individual’ termasuk perempuan, karena “perempuan adalah makhluk rasional” juga. Dalam perspektif feminis liberal, kaum perempuan dianggap sebagai masalah ekonomi moderen atau partisipasi politik. Keterbelakangan perempuan adalah akibat dari kebodohan dan sikap irasional, serta teguh pada nilai-nilai tradisional. Industrialisasi dan modernisasi adalah jalan untuk meningkatkan status perempuan, karena akan mengurangi akibat dari ketidaksamaan kekuatan biologis antara laki-laki dan perempuan. Ide inilah yang mendasari ide emansipasi perempuan dalam struktur sosial yang juga diadopsi oleh Pane ketika ia manggambarkan karakter Sumartini.
Selanjutnya adalah tokoh Rohayah yang memiliki pengalaman hidup yang pahit dan tertindas oleh struktur keluarga ketika ia dipaksa untuk menikahi orang yang tidak dicintainya dan kemudian membawanya pada petualangan yang ia benci. Tokoh Rohayah mengalami pemaksaan struktur budaya patriarki dimana anak perempuan harus rela dijodohkan oleh orang tua dan tekanan depresif ketika ia menikahi orang yang tidak dia cintai. Hidup kemudian membawanya kearah yang berbeda ketika ia mulai kabur dari Palembang. Ia sempat menjadi gundik orang belanda di Garut untuk beberapa tahun namun kemudian ia pergi ke betawi untuk mencari orang yang ia cintai di masa kecilnya. Namun sebelum itu ia juga sempat menjadi wanita panggilan dan berubah-ubah nama untuk menutupi identitasnya. Dendam psikologis Rohayah terhadap struktur patriarki kemudian memotivasinya untuk memutarbalikkan keadaan, dengan menjadi wanita panggilan Rohayah yang lemah dan dihinakan ini kemudian mampu membuat para lelaki bertekuk lutut dihadapannya dan merasa puas ketika laki-laki dapat takluk dibawah tangannya.
Pandangan Rohayah mengenai lelaki dalam Kajian feminisme dapat dikelompokkan sebagai pandangan feminis radikal. Bagi mereka, dasar penindasan perempuan sejak awal adalah dominasi laki-laki, dimana penguasaan fisik perempuan oleh laki-laki dianggap sebagai bentuk dasar penindasan. Dalam patriarki, yakni ideologi yang kelelakian dimana laki-laki dianggap memiliki kekuasaan superior dan privilege ekonomi adalah akar masalah perempuan. Dalam menjelaskan penyebab penindasan perempuan, mereka menggunakan pendekatan ahistoris, dimana patriarki dianggap sebagai masalah universal dan mendahului segala bentuk penindasan.
Selain kilasan isu emansipasi perempuan, Pane juga menyediakan konflik tabu yang ia hadirkan di tengah pembaca yaitu mengenai keluarga dan perselingkuhan yang dibumbui dengan konflik psikologis pada masing-masing tokoh. Karya yang berjudul “Belenggu” itu, memaparkan kehidupan para tokohnya yang masing-masing terbelenggu oleh ke-egoisannya sendiri, sehingga tidak memunculkan sebuah kebahagiaan. Pernikahan pun dikemasnya sebagai masalah yang mengaitkan para tokoh pada opini masyarakat dan konstruksi moral. Paradox yang ia munculkan sudah dapat dilihat dari monolog tokoh yang mempertanyakan kembali arti kesakralan sebuah pernikahan dan kenyataan perselingkuhan. Padahal, pada tiap pernikahan dilontarkan sumpah bahwa setiap pasangan harus hidup rukun demi menciptakan kehidupan yang mawaddah dan warohmah.

Novel Belenggu Karya Armijn pane
Novel Belenggu karya Armijn Pane bukanlah sekedar Roman yang bercerita tentang hubungan percintaan namun juga menceritakan kenyataan moral yang pahit dimana perselingkuhan tidak lagi terhindarkan dalam sebuah rumahtangga dan rumah tangga itu sendiri bukanlah suatu kepastian tujuan malah menjadi pertanyaan bagi roman ini. Armijn Pane juga menyisipkan isu yang sedang berkembang di masanya dalam karya yang berjudul “Belenggu” ini. Novel ini memberikan benturan budaya modern dengan budaya tradisional mengenai fungsi perempuan melalui tokoh-tokoh dalam novel ini.
Paradigma gender mengenai kesetaraan hak antara perempuan dan laki-laki dalam Novel “Belenggu” karya Armijn Pane ini dapat kita lihat dalam kutipan berikut;
“Apa katanya tadi? Tentang perempuan sekarang? Perempuan sekarang hendak sama haknya dengan kaum laki-laki. Apa yang hendak disamakan. Hak perempuan adalah mengurus anak suaminya, mengurus rumah tangga. Permpuan sekarang Cuma meminta hak saja pandai. Kalau suaminya pulang dari kerja, benar dia suka menyambutnya tapi ia lupa mengajak suaminya duduk, biar ditanggalkan sepatunya. Tak tahukah perempuan sekarang, kalau dia bersimpuh di depan suaminya akan menanggalkan sepatunya, bukankah itu tanda kasih, tanda setia? Apa lagi hak perempuan lain dari member hati pada laki-laki?”(Belenggu, Armijn Pane: 16).

Kutipan ini menampakkan keberatan dari kaum laki-laki mengenai paradigma emansipasi perempuan yang menuntut kesamaan hak dengan laki-laki. Dalam konteks budaya patriarkis, kesetaraan hak antara perempuan dan laki-laki memang dianggap sebagai suatu kejanggalan. Sikap tokoh perempuan dalam paradigma emansipasi perempuan terhadap laki-laki juga dimunculkan dalam kutipan berikut;
Tini melompat berdiri sebagai digigit kalajengking: “Bukankah lakiku juga pergi sendirian? Mengapa aku tiada boleh? Apakah bedanya?” ketika nyonya Rusdio hendak menyela, katanya: “Dengarlah dahulu. Ibu membedakan perempuan dan laki-laki. Itulah pokok perbedaan paham kaum ibu dengan kami perempuan sekarang.” (Belenggu, Armijn Pane: 53).

Ketidakberterimaan kaum laki-laki terhadap tuntutan kesamaan hak perempuan dengan laki-laki kemudian memunculkan konflik yang representasikan oleh Armijn Pane dalam kutipan berikut:
Bibir Tini memberengut seolah merasa pahit : “Memang, mengapa pula tidak? (muka nyonya Rusdio tergambar dalam ingatannya) Engkau boleh keluar-keluar mengapa aku tidak? Apa bedanya dengan engkau? Mestikah aku diam-diam duduk menjadi nona penerima telepon? Aku kawin bukan hendak menjadi budak suruhanmu menjaga telepon. Buat apa bujang sebayak itu disini?”
Didalam hati Kartono mulai pedas: “kalau hendak diserahkan kepada bujang saja, baik aku tiada kawin dulu.”(Belenggu, Armijn Pane: 63).

Kutipan diatas menggambarkan bagaimana peliknya ide mengenai kesetaraan hak antara kaum perempuan dengan kaum laki-laki dalam penempatan fungsinya dalam sebuah rumah tangga. Namun, pada masa itu bukan hanya kaum laki-laki yang tidak berterima akan penuntutan hak kesetaraan tersebut. Pada kaum perempuan sendiri muncul keraguan dalam memahami kesetaraan hak dalam sebuah rumah tangga. Keraguan ini dimunculkan oleh Armijn Pane dalam kutipan berikut:
“Yu, Yu, benarkah kita perempuan, baru boleh dikaakan benar-benar cinta, kalau kesenangannya saja kita ingat, kalau kita tiada ingat diri kita, kalau kesukaan kita hanya mmelihara dia? Kalau tiada perasaan demikian benarkah kita belum benar-benar kasih dia? Aku bingung, yu, bukankah kita berhak juga hidup sendiri? Bukankah kita ada juga kemauan? Mestikah kita mematikan kemauan kita itu? Entahlah, yu, aku belum dapat berbuat begitu. ” (Belenggu, Armijn Pane: 71).

Kutipan diatas menggambarkan bahwa pada masa awal kedatangan ide kesetaraan hak atau emansipasi perempuan masih memunculkan polemik dalam kehidupan masyarakat baik dalam perspektif kaum laki-laki yang tidak berterima akan pengurangan hakl istimewa maupun bagi perempuan yang masih terbelenggu oleh tradisi patriarkis yang sudah terlanjur mengakar di masyarakat. Dengan novel ini. Armijn Pane tidak hanya menampilkan roman dan konflik percintaan namun juga perdebatan ide mengenai emansipasi perempuan dalam kungkungan budaya patriarkis di Indonesia sebelum kemerdekaan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar