Seorang tuan tanah Arab, kita namakan saja Halal bin Fulus, sudah lama meminjamkan uang pada seorang petani Indonesia. Petani menanggungkan tanah dan rumahnya atas pinjaman itu. Dia tak bisa melunaskan hutangnya, sebaliknya membeli makanan dan pakaian dan membayar pajak pada pemertintah Belanda saja, sebetulnya tak bisa ditutup dengan hasil tanahnya yang sebidang kecil itu. Keperluan luar biasa pada umat Islam, seperti menyunat dan mengawinkan anak dan merayakan Hari Besar Islam, Lebaran, menuntut ongkos luar biasa yang bagaimana juga rajinnya dia bekerja tak bisa dipenuhi lagi. Terpaksa ia meminjam uang lagi kepada tuan Halal bin Fulus dari Tanah Suci yang seagama dengan dia. Melunaskan hutang dan bunganya yang makin lama bertambah-tambah itu. Tuan Halal bin Fulus tahu pula akan sifatnya petani Indonesia, het zachte volk der aarde, itu bangsa yang semanis-manisnya. Gula Arabpun manis, dan tuan Fulus tak keberatan melebihi harga tanggungan. Tetapi pada satu ketika harga tanah pekarangan dan rumah petani sampai menjadi kurang atau hampir saja dengan hutang bunganya. Disini tuan Fulus baru sekarang petani ada semacam tikus didalam cengkeraman kucing. Seagama atau tidak, dengan manis atau suara keras, namun hutang mesti dibayar.
Kalau kebetulan petani ada mempunyai anak perawan yang cocok sama perasaan tuan Fulus, suka atau tak suka si perawan, karena petani kebuntuan jalan, perkara hutang mungkin dihabiskan dengan perdamaian diantara tuan Fulus dengan petani Indonesia berdua saja. Tetapi kalau petani kebetulan punya anak bujang saja, atau kalau ada perawan yang cantik tetapi jika si ayah meskipun kemauan anaknya yang tak mau dikawinkan dengan tuan Fulus yang sudah tua dan beberapa kali kawin itu, maka disini timbullah percekcokan. Tuan Halal bin Fulus kita andaikan marah dan pergi mengadu ke Pengadilan.
Perkara diperiksa. Kalua perlu tuan Fulus mencari advokad yang pintar; arief bisaksana, yang tentu akan berusaha keras, menurut nilai pembayarannya. Dalam 99 diantara 100 perkara semcam itu, tentulah tuan Halal bin Fulus berasal dari tanah Suci, yang menang. Petani yang tak kuasa membeli beras atau sehelai pakaian buat anak bini masa Lebaran, kalau tak meminjam lebih dahulu pada tuan Fulus, manakah bisa bayar advokat. Pengadilan umpamanya memutuskan, bahwa si-tani mesti menjual tanah, pekarangan, rumah dan perabotan kalau ada ; sapi atau ayampun kalau ada, buat membayar hutangnya.
Sedikit kepanjangan buat contoh, tetapi kependekan buat hal yang banyak sekali terjadi di pulau Jawa dan penting buat kehidupan orang Indonesia.
Sekarang kita bertanya : Adilkah putusan Hakim Pengadilan tadi ?
Inilah salah satu dari pertanyaan yang tiada boleh dijawab dengan ya, dan tidak saja. Karena pertanyaan itu berkenaan dengan perkara yang berhubungan dengan masyarakat yang bertentangan diantara : Yang berpunya dengan Tak berpunya.
Tuan Fulus Muslimin yang Berpunya, sebagian besar dari kaum Ulama dan Pemerintah berdasar "kepunyaan sendiri”, tentulah 100 % membenarkan putusan itu. Petani berhutang dan hutang mesti dibayar. Ini cocok dengan smua Undang kemodalan dan cocok dengan semua Agama.
Sebalinya filsafat kaum Tak Berpunya atau Undang-undang kaum Tak berpunya (dimana kaum Tak berpunya menguasai Negara) 100 % pula akan memutuskan bahwa putusan Hakim "tidak” adil.
Kalau penulis ini umpamanya berkuasa mengambil putusan, maka penulis akan menyuruh pilih saja satu dari dua putusan. Pertama, karena tuan Halal bin Fulus bukan bangsa Indonesia, supaya pulang kembali ke Tanah Suci dengan diizinkan membawa sekedarnya dari harta bendanya, atau kedua : boleh tinggal disini, tetapi mesti mengembalikan semua hartanya pada Negara Indonesia. Dalam hal kedua dia lebih dahulu mesti dijadikan "manusia yang berguna buat masyarakat Indonesia”, yaitu dengan menukar dia sebagai paraciet, shylock, lintah-darat, menjadi "pekerja” sekurangnya 13 tahun. Sesudah itu baru boleh diterima menjadi penduduk yang sama haknya dengan "pekerja” yang lain-lain.
Pendeknya dalam perkara diantara dua pokok yang bertentangan, kita tidak bisa menjawab dengan ya atau tidak (benar atau salah, adil atau dhalim), sebelum kita mengambil pendirian, mengambil penjuru dari mana kita mesti memandang, point of view. Apa yang dipandang adil dari satu pihak, berarti tak adil dipandang dari pihak yang lain, dan sebaliknya. Sebab itu kita mesti lebih dahulu berpihak pada yang lain, atau sebaliknya inilah artinya menentukan POINT OF VIEW.
Dari salah satu sudut barulah kita bisa memandang dan memutuskan ya atau tidak.
diekstraksi dari naskah Madilog (1943)
karya Tan Malaka
published by Roliv
Tidak ada komentar:
Posting Komentar