Jumat, 02 Desember 2011

Penokohan dalm Novel Pacar Merah Indonesia

Penokohan dalam PMI karya Matu Mona sebenarnya termasuk sederhana dengan karakter yang lebih mudah dipahami ketimbang pendalaman karakter yang dilakukan para sastrawan di Balai Pustaka. Karakter utama yaitu pacar merah dikarakterisasikan sebagai seorang pahlawan yang rela berkorban demi kemerdekaan bangsanya, teguh berpendirian dan berani mengorbankan kehidupan pribadinya. Karakter lain seperti Djalumin dan Soe Beng Kiat menjadi karakter bawahan Pacar Merah yang setia sedangkan Paul Mussotte, Aliminsky dan Semaunov dikarakterisasi sebagai tokoh yang mengalami dilemma dalam perjuangan kemerdekaan karena afiliasinya dengan organisasi internasional. Tokoh-tokoh pembantu seperti Ninon Phao, Phya Sakhon dan Francois D’Issere dijadikan tokoh pendukung yang membantu perjuangan para tokoh utama sesuai latar tempat yang diambil. Keunikan dari penokohan yang dilakukan oleh Matu Mona terletak pada asosiasi para tokoh utama dengan tokoh sebenarnya. Para tokoh tersebut dapat diasosiasikan dengan mudah kepada para pemimpin PKI yang berada dalam pengasingan sebagai imbas kegagalan revolusi 1926 melalui cara pandang, latar tempat dan kepribadian para tokoh bahkan pada beberapa tokoh hanya terjadi sedikit penyamaran nama. Dengan menggunakan asosiasi tersebut, Matu Mona mampu menghadirkan konflik, perdebatan bahkan intrik yang terjadi di kalangan gerakan sekaligus mengandaikan persatuan diantara para tokoh tersebut. Melalui narasi dan dialog para tokoh, Matu Mona menghadirkan penelusuran identitas kebangsaan Indonesia, penjajahan colonial dan kewajiban melawan penjajahan tersebut.

Roman Picisan Matu Mona

Picisan yang memiliki arti sepuluh sen ini merupakan roman tipis yang berjenis fiksi populer. Roman picisan merepresentasikan buku murah yang diterbitkan secara berseri, tidak memiliki estetika, dan tema universal seperti novel terbitan Balai Pustaka.
Pada masa Balai Pustaka, roman picisan memiliki ciri khas sebagai sebuah genre sastra. Roman ini memiliki kontribusi yang besar dalam perkembangan sastra karena menjadi bacaan yang digemari oleh pembaca dengan bahasanya yang segar dan akrab dengan masyarakat. Beberapa bagian dalam bahasanya yang berbeda akan peneliti paparkan berikut ini. Pertama, kata sapaan, pada roman PMI para tokohnya menyebut aku dengan kata beta dan saya, memanggil ibu dengan sebutan inangda, orang terkenal dengan orang termasyur atau tersohor, kamu atau kalian dengan kamu orang, saudara separtai dengan kameradden, keparat dengan hai celaka, orang yang lihai dengan orang yang licin bagai belut, teman dengan konco, seorang yang ajaib penghidupannya, seorang yang mempunyai darah ksatria, dsb. Kedua, pemakaian bahasa asing pun masih ditulis sesuai dengan aslinya belum diserap menjadi bahasa Melayu, seperti nasionalis dengan nationalist,sosialis dengan socialisist, nasional dengan nationaal, simpati dengan sympatie, bioskop dengan bioscoop, aktor dengan acteur, pelajar dengan student,minuman dengan champagne, gratis dengan free, koper dengan koffer, mobil dengan auto, dsb. Ketiga, penyebutan latar tempat dan sosial dalam karya ini sangat nyata, dalam menjelaskan kapan terjadinya dan dimana terjadinya peristiwa, Matu Mona menggunakan kata: konon, saban hari, sesore, lampau, perkampungan, Straits Settelements (Malaysia), Bandar Bangkok, dan kerajaan Gajah Putih (Thailand). Beberapa kata lainnya yang belum penulis temukan di karya-karya Balai Pustaka seperti: “jadi nyatalah kepada kami...”, “rewan bercampur hiba”, “dibukai”, “syakwasangka”, “tuan putri yang gilang gemilang parasnya”, “kiraikan”, dan “mambang”.
Genre roman picisan memang cukup banyak dihasilkan oleh sastrawan dari kalangan wartawan. Mereka menggunakan bahasa Melayu dan menggunakan latar cerita dengan memuat fakta historis. Seperti yang terlihat pada kutipan berikut ini.

Pada 11 Juli 1931 Pan-Malay Conference itu pun dilangsungkan di Manila. Tiga bulan sebelumnya sudah diundang beberapa pemuka-pemuka dari beberapa negeri Melayu.
Manila sengaja dipilih untuk tempat Congress itu. Karena di sana tidak dikhawatiri akan dibubarkan, umpamanya seperti yang dilangsungkan di Singapura, yang hampir tidak ada hak ber-vergadering bagi rakyatnya. (PMI,2010:159)
Bandar Bangkok ini, nona, adalah menjadi centrum-nya dari gerakan ‘jahat’ itu. Straits Settelements saya sudah jalani rata-rata dan mereka itu telah saya buru, maka belakangan saya mendapat kabar yang dipercaya bahwa mereka itu berkubu pula di Bangkok ini. Di sini, nona, adalah satu sanctuary bagi kaum politiek, karena undang-undang di negeri ini tidak mengizinkan menangkap pelarian yang melindungi dirinya di bawah naungan bendera Gajah Putih. (PMI,2010:28)

Matu Mona menarasikan kongres Pan Melayu dengan memberikan latar waktu untuk menunjukkan bahwa peristiwa kongres tersebut benar-benar terjadi. Pemakaian bahasa Melayu sehari-hari diungkapkan dengan kata-kata “...pemuka-pemuka dari beberapa negeri Melayu, Karena di sana tidak dikhawatiri..., umpamanya umpamanya seperti yang dilangsungkan di Singapura..., saya sudah jalani rata-rata dan mereka itu telah saya buru, maka belakangan saya mendapat kabar yang dipercaya”. Dan penggunaan bahasa asing seperti: conference, congress, sanctuary , Straits Settelements, dan vergadering.
Sebagai roman yang memiliki perbedaan dengan karya Balai Pustaka, kita dapat melihat bahwa gagasan dan hasil sastra yang dimuat dalam roman Medan tidaklah sama dengan novel Balai Pustaka. Selain itu, buku-buku roman Medan seperti roman picisan tidak akan mampu mendominasi kalau hanya mengandalkan terbitan di wilayah Sumatera, suatu hal yang berlainan dengan Balai Pustaka, misalnya, yang tersebar jauh lebih luas. Dalam roman picisan, karya sastra bisa dimanfaatkan untuk mengidolakan seorang tokoh, memberi nasihat, membuat rayuan, memprotes, dsb.

Jumat, 11 November 2011

Postkolonial atau pascakolonial?

catatan malam Roliv

Beberapa bulan terakhir aku bergekut dengan kajian postkolonial dalam rangka membantu penyelesaian skripsi agnes yang membahas mengenai identitas kebangsaan dalam novel Pacar Merah Indonesia. banyak literatur yang kubaca, dimulai dari buku Keith Foulcher yang berisi tentang makalah pertemuan para 'pengkritik' sastra di australia, karya hebat Edward Said yang disebut-sebut sebagai vanguard kajian postkolonial, artikel sederhana namun mendalam milik gayatri spivak berjudul 'can subaltern speak', Franz Fannon si psikiater yang bermasalah dengan identitas, Homi Babha yang ambivalen hingga Benita Parry yang mencerahkan.
Kajian postkolonial (aku lebih senang menyebut post ketimbang pasca) memang kajian yang masih problematis dan belum ajeg menjadi pendekatan keilmuan baik bagi sastra maupun kajian sosial lainnya. Di Indonesia sendiri kajian ini masih mengalami perdebatan etimologis yang tidak ada ujungnya mengenai Post atau Pasca yang mengawali kata kolonialisme. perdebatan ini rupanya tidak se remeh yang kukira, kata Post dan Pasca merupakan kata yang saling bertolak belakang, perubahan penggunaan kata tersebut berkonsekwensi pada perubahan deduksi pikiran dalam memulai kajian mengenai kolonialisme. kata Post memiliki arti yang lebih luas ketimbang Pasca, Post mewakili makna kritis, Post dapat disebut sebagai Kritik terhadap... atau setelah suatu keadaan. namun seringkali Post ditempatkan pada posisi Kritik terhadap ketimbang setelah. Post lebih longgar dalam pemilihan waktu melingkupi kejadian sebelum, sedang dan setelah. sedangkan Pasca memiliki satu makna yaitu setelah (meskipun dalam bahasa finlandia menurut temanku berarti Tahi. atas dasar alasan ini aku memilih menyebut postkolonial ketimbang pascakolonial.
perdebatan ini sebenarnya bukan perdebatan yang dibuat-buat atau hanya terjadi di indonesia akan tetapi berasal dari problematika kajian ini sendiri. perjalanan teoritis pembangunan kajian postkolonial membawa kajian ini jauh panggang dari api. kajian postkolonial dipelopori oleh Franz Fannon seorang psikiater sekaligus seorang aktivis sosialis. Fannon mempermasalahkan bagaimana kaum terjajah membentuk identitasnya, memandang dirinya sendiri di depan kaum penjajah. sedangkan Said mengulas mengenai cara pandang Barat sebagai penjajah kepada Timur sebagai terjajah melalui Orientalismenya.
Kajian ini terus berkembang hingga Homi Babha memasukkan psikoanalisis kedalam kajian poskolonial melalui konsep ambivalensi, mimikri, hibriditas yang menjadi kategori-kategori utama dalam kajian poskolonial. dalam kajian literatur atau sastra kajian poskolonial menjadi kajian yang cenderung berkiblat pada psikoanalisis ketimbang kajian kritik terhadap kolonialisme. pendekatan postkolonial modern yang diambil alih oleh para akademisi sastra dan cultural studies tidak lagi menjadi kritik terhadap kolonialisme akan tetapi malah menjadi alat rekonsiliasi penjajah dan terjajah.
Kajian ini mendapat tantangan hebat dari Benita Parry, ia mengingatkan kembali peran wacana antikolonial sebagai pelopor kajian poskolonial. lebih jauh lagi Parry menambahkan peran gerakan Trotskyst dalam memupuk kesadaran antikolonial di negara jajahan pada tahun 1930an. pandangan Parry membongkar pandangan kajian poskolonial yang bersifat idealistik dan memisahkan konteks represi kolonial dan menjebakkan kajian pada kategori-kategori psikoanalisis dalam kajian poskolonial. Parry menggunakan pandangan kritis materialis dalam mengkritik kajian poskolonial tanpa menegasikan pembangunan kajian ini oleh para pendahulunya. kajian poskolonial yang mengkaji wacan ambivalensi mimikri dan wacana tandingan rupanya menghadapi tandingan wacana dari kaum materialis yang menolak pengingkaran kajian poskolonial pada akar kritisnya.
Aku sendiri yang memiliki kecenderungan Marxis, melalui analisa material historis kurasa sudah cukup menjelaskan pengingkaran kajian postkolonial. kajian ini memang harus dikembalikan pada relnya yang berakar pada emansipatory marxis dan tujuan politiknya sebagai gugatan dan pembentukan sejarah baru masyarakat terjajah.

Rabu, 09 November 2011

Demokrasi Partisipatoris vs Demokrasi Representatif (part 2)

Peristiwa pembangunan demokrasi di Venezuela yang mengikuti proses demokrasi kuba pasca keruntuhan soviet mulai menggemparkan kaum prodem di seluruh dunia, belum lagi ketika secara bertahap namun pasti beberapa Negara amerika latin lain ikut membangun demokrasi dengan metode yang hamper sama dan keberanian politik yang layak diperhitungkan. Metode ini membalik semua proses demokrasi yang ada dan secara bertahap mengembalikannya ke tangan rakyat, meskipun kita ketahui bahwa belum sepenuhnya. Lalu apakah perbedaannya dengan demokrasi yang ada di sebagian besar Negara-negara di dunia? Inilah pertanyaan yang paling krusial bagi demokrasi yang mereka jalankan.
Demokrasi yang sedang di beberapa Negara di amerika latin ini di sebut sebagai Demokrasi Partisipatoris. Demokrasi model ini menjadikan demokrasi yang sebelumnya hanya menjadi ritual kenegaraan menjadi sistem yang nyata di tengah-tengah massa. System demokrasi ini memungkinkan massa memberikan aspirasinya secara langsung, merubah elitism parlemen menjadi proses partisipatoris dikalangan base massa terendah, memungkinkan massa mengorganisir dirinya sendiri dan merencanakan programnya sendiri untuk mereka. Dalam proses ini juga consensus rakyat merupakan hal yang paling utama sehingga referendum dipastikan dapat dilakukan kapan saja (tentunya dengan syarat). System demokrasi partisipatoris ini juga mensyaratkan terorganisirnya rakyat di setiap level dan pendidikan politik dilakukan secara simultan di dalamnya, system ini kemudian menjadikan demokrasi sebagai system social yang muncul secara integral dalam masyarakat hingga kemudian rakyat dapt menyadari bahwa kekuasaan ada di tangan mereka.
Metode ini mulai dilakukan di amerika latin oleh kuba ketika hubungan kuba dengan uni soviet kian memburuk sampai kemudian klimaksnya terjadi pada keruntuhan uni soviet di akhir 80 an, embargo ekonomi dan sabotase-sabotase ekonomi-politik yang dilakukan amerika serikat memaksa masyarakat kuba untuk menorganisir dirinya sendiri dalam kelompok-kelompok masyarakat untuk menanggulangi krisis ekonomi yang melanda Negara ini. Dewan-dewan rakyat yang sebelumnya tidak aktif dibawah pemerintahan castro yang pro soviet mulai diaktifkan oleh Negara dengan tuntutan paling mendasar menyelamatkan kesejahteraan dasar rakyat yaitu produksi pangan. Melalui dewan-dewan rakyat ini, rakyat mulai menggarap lahan-lahan kritis di seluruh kuba dengan tuntutan yang sederhana pula jika lahan kritis tidak dapat diperdayakan maka kebutuhan pangan rakyat tak akan terselesaikan. Dengan cepat kesadaran ini menyebar di seluruh rakyat, berbagai macam eksperimen pertanian dilakukan dengan teknologi tradisional hingga akhirnya lahan-lahan kritis tersebut dapat diberdayakan untuk pertanian kuba, produksi komoditas pertanian pun semakin membaik. Embargo bahan bakar juga memaksa masyarakat kuba mengkolektifkan kepemilikan atas kendaraan bermotor dan mempelajari otomotif secara otodidak.
Ketika kuba memulai hubungan dagang dengan perancis, dewan-dewan rakyat pun menuntut untuk jaminan kesejahteraan mendasar yaitu pendidikan dan kesehatan. Konsentrasi pada kedua tuntutan ini menjadikan kuba sebagai Negara dunia ketiga pertama yang bebas dari buta huruf dan memiliki supply tenaga kerja kesehatan yang berlimpah karena pendidikan kesehatan tidak dikenakan biaya apapun sehingga dapat memaksimalkan jumlah pekerja kesehatan di negeri ini. Ketika kuba mulai menalankan system perdagangan (perdagangan kuba di dalam negeri adalah industry jasa pariwisata) dan monoter pun, dual economic system diterapkan, dua mata uang berlaku di negeri ini yaitu peso dan dollar. Peso kuba bagi rayat hanya seperti kupon dibandingkan uang. Namun dalam hal ini proses demokrasi partisipatoris di kuba tetap tidak dapat dilihat seara jelas kecuali proses elektoralnya yang memakan waktu dua setengah tahun.
Proses demokrasi partisipatoris yang dapat dipantau lebih jelas adalah proses demokrasi di Venezuela. Proses ini mirip dengan proses yang terjadi di kuba namun lebih terbuka. Demokrasi partisipatoris di Venezuela menggunakan dewan komunal sebagai tenaga pokoknya dalam agenda revolusi bolvarian mereka. Dewan-dewan komunal ini dibentuk di berbagai level massa untuk memutuskan kebutuhan mendasarnya melalui program-program kerakyatan yang mereka usulkan ke pemerintah, konstitusi Negara ini dirubah menjadi konstitusi yang lebih kerakyatan.
Proses electoral di Negara ini berlangsung seperti halnya proses electoral di negar-negara lain pada umumnya, oposisi pun dijamin keberadaannya. Namun, proses electoral venezuela memiliki perbedaan mendasar yaitu seluruh pemilih menyadari betul pentingnya member suara pada proses electoral. Bagaimana hal ini bisa terjadi? Ya. Hal ini disebabkan oleh pengorganisiran lingkaran Bolivarian di barrios-barrios (desa) yang memungkinkan diskusi politik terjadi di seluruh tingkatan massa, konstitusi juga dibagikan di seluruh level massa, diskusi-diskusi mengenai konstitusi terjadi di setiap tempat, warung-warung keil dan pinggiran jalan-jalan di Venezuela. Tingkat golput pun menurun secara signifikan dari 65% sebelum Chavez berkuasa menjadi hanya 35% secara bertahap. Proses referendum kembali diaktifkan dan di informasikan kepada massa. Bahkan, aksi tanda tangan bisa menjadi pencabutan mandate rakyat terhadap pemerintahan yang berkuasa dan ini bisa dilakukan kapan saja jika pemerintah melakukan penyelewengan kekuasaan. Proses demokrasi ini memobilisasi seluruh rakyat untuk terlibat aktif didalamnya.
Efektifnya proses demokrasi partisipatoris in dalam menggalang kesadaran rakyat telah dibuktikan oleh rakyat Venezuela dan pemerintahan Chavez. Peristiwa kudeta di tahun 2002 ditanggulangi dengan mobilisasi rakyat dari kampong-kampung miskin dan desa-desa mengembalikan kekuasaan pada pemerintahan Chavez, sabotase ekonomi dari para kapitalis dijawab oleh rakyat pekerja dengan okupasi terhadap pabrik-pabrik yang ditinggalkan, program-program kerakyatan direncanakan, dioperasionalisasikan dan di awasi langsung oleh rakyat melalui dewan komunal.
Melihat proses ini, pertanyaan yang mendasar bagi kita adalah bagaimana dengan Indonesia? Jika dibandingkan dengan Indonesia, proses demokrasi Venezuela jelas sangat berbeda bahkan saling bertolak belakang. Indonesia, sebagaimana Negara-negara ‘demokratis’ pada umumnya meletakkan demokrasi pada pengertian ritual pemilu dan elitism parlemen, partisipasi politik rakyat hanya terjadi pada masa pemilu, tingkat golput semakin meningkat, rakyat buta politik, terlebih lagi proses referendum jangan harap proses ini dikenal oleh rakyat Indonesia. Seluruh proses yang terjadi di Venezuela merupakan hal yang asing bagi rakyat Indonesia bahkan tidak terpikirkan.
Jika kita mengambil contoh di Venezuela dan kuba, kita dapat menemukan bahwa terdapat sebuah proses ekonomi politik yang memaksa rakyat merubah paradigmanya terhadap demokrasi yang sudah diterapkan. Perubahan structural ekonomi politik merupakan factor utamanya, perubahan inilah yang mendorong perubahan kesadaran secara massal di tingkatan massa. Bisa kita ambil contoh embargo ekonomi terhadap kuba dan sabotase ekonomi di Venezuela, proses politik seperti percobaan pembunuhan terhadap castro dan kudeta atas pemerintahan chavez juga mendorong kesadaran rakyat untuk berperan serta dalam politik. Hal lain yang menggerakkannya juga dapat kita ambil dari perubahan struktur politik di kuba dan lingkaran Bolivarian di Venezuela yang. Kita bisa membagi kedua factor tersebut sebagai momentum dan kepemimpinan politik. Kedua factor inilah yang membuat demokrasi partisipatoris jadi memungkinkan untuk di terapkan. Demokrasi partisipatoris membutuhkan kesadaran partisipasi aktif dari rakyat dan alat atau wadah partisipatorisnya.
Pertanyaan bahwa apakah terdapat kemungkinan diterapkannya demokrasi partisipatoris di Indonesia, jawabannya adalah ada kemungkinannya. Meskipun tidak menemukan momentum seradikal kuba, dalam beberapa tahap keadaan di Indonesia hamper serupa dengan Venezuela dan engara dunia ketiga lainnya. Pembentukan demokrasi partisipatoris di Venezuela pun tidak dilakukan secara parsial dari rangkaian gerak ekonomi politik Venezuela, begitupun juga kemungkinan yang ada di Indonesia. Demokrasi partisipatoris sebagai ide untuk mengembalikan kekuasaan ke tangan rakyat merupakan hal yang mutlak harus dilakukan oleh kaum prodemokrasi dan kaum progresif lainnya di Indonesia dengan meluaskan pembangunan organisasi-organisasi rakyat.
Demokrasi sebagai sebuah system social harus dibentuk dari system social itu sendiri melalui pengorganisiran di tingkatan rakyat dan mengenalkan proses demokrasi ini dalam bentuk tindakan keseharian dalam pengorganisiran. Membangun kesadaran rakyat melalui proses demokratis dan menjadikan demokrasi sebagai nilai social di tingkatan rakyat.

Kita tidaklah sedang menciptakan sebuah Transformasi sosial, rakyat lah yang melakukan Transformasi social, yang kita lakukan adalah mendorong kesadaran rakyat menuju Transformasi sosial dan mempersiapkan momentum itu. (Sendja Merah)

Demokrasi Partisipatoris vs Demokrasi Representatif (part 1)

tulisan ini pertama kalia di upload pada Kamis, Desember 11, 2008. di muat di blog LMND Jawa Barat (sewaktu saya masih anggotanya), rumahkiri.net (sewaktu masih ada), indonesia.handsoffvenezuela.org (sewaktu saya masih koordinatornya). terakhir dimuat di koranburuh.org. mungkin karena tulisan ini memang menarik

*Roliv

Demokrasi merupakan sebuah system sosial yang muncul dari dialektika sejarah manusia yang mengorganisir dirinya kedalam sebuah kelompok dan mengatur pembagian kekuasaan di dalamnya. Sejak runtuhnya uni soviet di akhir tahun 80an, demokrasi dianggap sebagai sebuah system yang ideal yang dapat mengatur masyarakat dengan lebih adil dan mendorong kepada kesejahteraan juga sebagai system politik yang dinamis dan secara internal sangat beragam. Seorang teoritisi politik menjelaskan bahwa bahwa demokrasi setidaknya memiliki 10 keunggulan, yaitu menghindari tirani, menjamin hak asasi, menjamin kebebasan umum, menentukan nasib sendiri, otonomi moral, menjamin perkembangan manusia, menjaga kepentingan pribadi yang utama, persamaan politik, menjaga perdamaian dan mendorong terciptanya kemakmuran.

Proses demokrasi yang dianggap ideal adalah proses keterwakilan seluruh demos dalam proses pengambilan keputusan. Model yang dianggap ideal dalam pemahaman ini adalah model demokrasi langsung (urform) seperti konsep klasik polis Athena yang dianggap tidak akan dimungkinkan untuk dilaksanakan dalam kondisi Negara yang besar secara territorial dan dalam kondisi Negara yang memiliki jumlah penduduk jutaan. Sehingga kemudian muncullah demokrasi representatif sebagai penyelesaian masalah penerapan demokrasi. Demokrasi representatif sangat menekankan pada fungsi kepartaian sebagai alat representasi warga dalam proses politik. Partai politik ini diyakini muncul dari keinginan rakyat menyatukan pendapat dan persepsi secara berkelompok untuk menentukan representasinya dalam pemerintahan. Namun, pada faktanya partai dalam sejarahnya tidaklah berasal dari consensus dan kesadaran rakyat akan tetapi hanya dipergunakan untuk memenangkan kandidat dan bentuknya pun hanya seperti kepanitiaan. Meskipun begitu, tidak diabaikan juga bahwa proses dialektika sejarah membawa beberapa partai menjadi wadah perjuangan ideologis.

Pemahaman kendala demokrasi langsung menyebar sebagaimana pemahaman akan demokrasi menyebar di seluruh dunia hingga apa yang disebut demokrasi dalam pemahaman dunia adalah demokrasi representative dan diluarnya adalah bukan demokrasi. Demokrasi dicerabut dari esensinya yaitu pendistribusian kekuasaan ekonomi politik dan consensus seluruh rakyat, referendum pun disebut sebagai peristiwa langka padahal sebenarnya proses itu intrinsic dalam demokrasi. Demokrasi representative juga dikemas dalam ide liberalisme dan menjadikannya intrinsic di dalamnya, demokrasi pun bicara mengenai jaminan hak privat (privilage), hak berserikat pun diartikan sebagai hak pendirian perusahaan, partisipasi dibatasi dalam koridor pemilihan umum dan stabilitas pun diperkenalkan di dalamnya. Semakin lama demokrasi semakin tereduksi menjadi penguasaan sekeolompok kecil orang atas sebagian besar orang.

Dalam demokrasi representative, populasi memilih satu orang kandidat yang mereka percayai untuk dapat mewakili aspirasi mereka duduk di dalam parlemen dimana kebijakan public di buat, pemilih menyerahkan semua hak demokratiknya kepada kandidat tersebut. Permasalahan yang muncul kemudian adalah si kandidat memiliki jarak yang sangat jauh dari massa yang memilihnya denan berbagai macam alasan, pemahaman bahwa massa memiliki hak partisipasi demokratik dalam suatu Negara dan ketika ia melakukan pemilihan haknya diberikan kepada si kandidat pun agaknya asing di tingkatan massa. Kebanyakan massa hanya menagannggap pemilu adalah sebuah ritual kenegaraan dan meraka adalah penonton yang inferior di dalamnya. Banyaknya jumlah populasi yang mengharuskan kandidat melakukan komunikasi terhadap pemilih pun telah mendegradasi kualitas komunikasi politik dengan menggantikannya dengan symbol kampanye dan tentunya hanya orang-orang tertentu sajalah yang mampu membiayai kampanye tersebut. Hal ini telah menjauhkan kandidat dari pemilih sekaligus menutup kemungkinan kelas bawah untuk dapat menjadi kandidat dalam proses electoral. Proses ini kemudian akan memunculkan oligarki dalam kekuasaan. Meskipun begitu, kapitalisme membutuhkan oligarki untuk memastikan akumulasi modal dapat terus terkonsentrasi dan aman dalam bentuk kepemilikan privat.

Oligarki kemudian dengan sendirinya menciptakan krisis legitimasi di tataran rakyat ketidakpercayaan terhadap proses maupun konsistensi kandidat terpilih untuk membawa aspirasi rakyat mulai muncul, singkatnya kita dapat mengambil contoh dengan maraknya jumlah golput pada setiap pemilihan umum di berbagai Negara. Hal ini disebabkan langsung oleh kesenjangan proses demokrasi yang telah dipaparkan sebelumnya. Parlemen menjadi tempat yang asing bagi rakyat bahkan dapat disebut sebagai tempat yang terlalu mewah bagi rakyat, aspirasi tidak lagi didengarkan karena dihalangi oleh peraturan atas nama demokrasi sehingga mengharuskan rakyat melakukan aksi massa untuk menyampaikan aspirasinya karena memang para anggota parlemen tidak pernah bersentuhan langsung dengan rakyat yang diwakilkan oleh mereka bahkan rakyatpun tidak mengenal mereka sementara semua hak demokratik rakyat telah di berikan kepada mereka.

Bagi oligarki, golput bukanlah sebuah permasalahan serius. Keengganan massa memilih perwakilannya dianggap sebagai tindakan demokratis atau kesalahan teknis dalam proses pemilu. Golput bukanlah ancaman bagi oligarki karena meskipun tingkat golput tinggi pemerintahan yang terpilih oleh minoritas pun tetap terligitimasi secara yuridis. Disamping itu juga, pada kenyataannya golput lebih menjadi tindakan apolitis dan keputusasaan parsial dari pemilih (rakyat) terhadap setiap pergantian kekuasaan yang tidak memberikan perubahan apapun.

Demokrasi parlementer dan Oligarki seakan-akan telah menjadi dua hal yang sebenarnya satu. Tidak ada perbedaan mencolok diantara keduanya bahkan bisa dikatakan sama saja, begitupun juga dengan demokrasi. Jika begini masih layakkah demokrasi dipertahankan? Jika masih layak, adakah alernatif bagi demokrasi?

Jumat, 28 Oktober 2011

Apatisme dan alienasi politik

Oleh: Rolip Saptamaji

Tulisan ini berupaya menyajikan fenomena politik kontemporer yang sedang berlangsung di masyarakat indonesia ataupun di seluruh masyarakat di dunia yang berada dibawah negara. tulisan ini sendiri terbagi dalam beberapa bagian yang akan menjelaskan secara deduktif mengenai Tema Alienasi Politik yang menyebabkan Apatisme masyarakat. saya mencoba mengungkap pertentangan sejati dibalik ketidakacuhan yang diselubungi oleh kompromi demokrasi parlementer yang sedang mendominasi politik dunia melalui sudut pandang Marxian.
Apatisme merupakan sikap acuh tak acuh terhadap sebuah hal, dalam hal ini adalah politik. Apatisme masyarakat terhadapa politik dilatari oleh dua aspek yaitu rendahnya kepercayaan terhadap politik yang berlangsung dan rendahnya ketertarikan masyarakat terhadap politik (Oskarson, 2008: 8). Apatisme masyarakat bukanlah merupakan tindakan parsial yang tidak terhubung dengan struktur namun merupakan dampak dari struktur yang ada sebagai bentuk protes maupun keputusasaan terhadap politik yang berlangsung di negaranya.
Dalam kasus apatisme masyarakat terhadap politik khususnya di indonesia, hal ini terjadi melalui reproduksi wacana dan kesenjangan antara masyarakat dan elit politik. Banyak hal yang melatarbelakangi munculnya apatisme masyarakat tersebut sebagai turunan dari kedua aspek penyebab apatisme politik diatas. Apatisme masyarakat di indonesia bukan hanya muncul dari rendahnya ketertarikan masyarakat terhadap agenda politik karena telah terbukti pada setiap pemilihan umum baik itu pemilihan umum kepala daerah maupun pemilihan umum nasional, masyarakat tetap memilih. Apatisme masyarakat di indonesia mengambil bentuk ketidakacuhan masyarakat terhadap perkembangan politik dengan memvisualisasikan politik sebagai permainan kotor sedangkan dalam ajang pemilihan umum, masyarakat sebagai pemilih cenderung hanya melakukan ritual demokrasi dengan datang memberikan suara tanpa mempertimbangkan pilihannya dengan baik.
Apatisme politik tidak hanya terjadi pada negara berkembang seperti di indonesia namun juga terjadi di negara-negara maju. Perbedaan antara negara berkembang dan negara maju hanyalah pada tingkat kesadaran pada pilihan apatis dan latar pendorong munculnya sikap apatis. Sikap apatis masyarakat terhadap politik akan mendorong krisis legitimasi bagi pemerintahan, namun di lain [pihak juga akan melanggengkan status quo, dampak dari sikap ini adalah terhambatnya pembangunan politik di negara tersebut.
Apatisme masyarakat terhadap politik secara struktural merupakan bagian dari alienasi politik yang dilakukan oleh negara baik secara sadar dengan melakukan isolasi terhadap masyarakat dari wacana politik maupun secara tidak sadar dengan mereprosuksi citra buruk terhadap politik itu sendiri melalui berbagai rangkaian kejadian dan instrumen pelaksana. Alienasi politik seperti dijelaskan oleh Lane dalam bukunya, Political Ideology, memiliki definisi umum sebagai keterasingan orang terhadap pemerintah dan politik dalam masyarakatnya sehingga memunculkan penolakan terhadap kegagalan politik (Lane,1962).
Konsep alienasi politik merupakan lawan dari konsep keterikatan atau hubungan politik yang terjadi antara masyarakat dengan negara. Konsep alienasi tersebut memiliki berbagai macam aspek sebagai pemunculannya yaitu ketidakmampuan, sikap apatis, sinisme dan ketidaksenangan terhadap politik.
The concept of alienation originates from the concept of entfremdung used by Marx and by Weber. In political sociology, political alienation has come to refer to the opposite of “political engagement” of any kind, and to include various aspects of inefficacy, apathy, cynicism, and displeasure (Citrin et al., 1975, Mason et al., 1985)
Alienasi politik menjauhkan masyarakat dari politik dan pemerintahan sehingga memunculkan kekecewaan dan keputusasaan terhadap politik di masyarakat. Sementara, tidak semua politisi dirugikan oleh kurangnya legitimasi masyarakat terhadap kekuasaan. Dalam oligarki, legitimasi tidaklah diperlukan. Masyarakat yang acu tak acuh pada setiap agenda politik nasional mupun daerah dapat ditempatkan sebagai floating mass yang hanya diaktifkan dimasa pemilihan. Bagi demokrasi prosedural, aktifitas legal formal demokrasi sangatlah penting namun tidak mencakup substansinya. Hal ini akan bersinergi dengan ketidakacuhan masyarakat, ketika para elit tidak dapat menyampaikan aspirasi masyarakat ataupun tidak lagi menepati janjinya semasa kampanye masyarakatpun hanya kecewa tanpa tindakan protes ataupun upaya advokasi politik bagi kebijakan yang bertentangan dengan masyarakat. Pada akhirnya, status quo akan terus bertahan dan oligarki pun akan tercipta di negara tersebut tanpa disadari oleh masyarakat.

Jumat, 09 September 2011

Labirin isu Korupsi (2)

Good Governance dan Korupsi
isu good governance memiliki kaitan erat dengan perkembangan isu korupsi di negara berkembang dan negara post komunis. keterkaitan antara keduanya seringkali tidak disadari. namun jika kita runut sesai dengan dinamika politik yang terjadi di negara berkembang dan negara poskomunis, kaitan ini mungkin akan terlihat lebih terang. isu mengenai good governance yang kini menjadi agenda bersama dalam pemerintahan indonesia dan negara berkembang lainnya merupakan resep jitu dari world bank untuk mengatasi korupsi di negara berkembang. good governance sendiri merupakan konsep atau model pemerintahan bukan teori karena konsep ini pun berasal dari annual report world bank pada tahun 1992. konsep good governance mulai dipromosikan oleh UNDP dan IMF pada tahun 1996 sebagai konsepsi baru yang dapat menolong negara berkembang dan kurang berkembang yang sedang menghadapi krisis ekonomi dan politik.
dalam jurnal mengenai dukungan publik terhadap pemerintahan korup, saya menemukan beberapa fakta baru bahwa konsep good governance dilatarbelakangi oleh kebutuhan perluasan pasar global. dalam jurnal tersebut dijelaskan bahwa konsep good governance lahir dari keresahan masyarakat ekonomi (pemodal/MNC/TNC) terhadap stabilitas akumulasi di negara berkembang dan poskomunis setelah runtuhnya blok soviet dengan model ekonomi terpimpin (sampai saat ini saya masih percaya bahwa model ekonomi hanya ada tiga: ekonomi terpimpin, pasar dan campuran).
sebelum keruntuhan bloksoviet, korupsi di negara berkembang dan negara komunis dianggap sebagai kejahatan yang perlu dilakukan untuk memutus pita merah birokrasi dan meningkatkan pertumbuhan ekonomi melalu redistribusi kekayaan negara. asumsi ini didukung oleh para ahli teori funsionalisme. namun setelah runtuhnya blok soviet di akhir 1980an paradigma ini mulai berubah karena munculnya peluang pasar yang menjanjikan di seluruh dunia dan mulai ditinggalkannya industri substitusi impor di negara berkembang. sejalan dengan munculnya peluang pasar tersebut, para pemodal/negara industri membutuhkan portofolio investasi dan kestabilan investasi di negara-negara perluasan pasarnya. untuk itu, korupsi menjadi sangat berbahaya dan ditakuti karena akan mengganggu stabilitas akumulasi modal.
namun para pemodal pun memahami bahwa pada negara yang memiliki relasi patron klien yang kuat seperti pada negara berkembang dan negara poskomunis politik kroni yang entunya korup sangat dibutuhkan untuk menjaga keberpihakan pemerintah terhadap modal. untuk itu para ahli teori fungsionalis dan ahli teori lainnya merumuskan penyelesaian tentatif yang tambal sulam bagi permasalahn korupsi. sampailah mereka pada kesimpuan bahwa tinggi rendahnya korupsi di suatu negara bergantung pada kuat lemahnya institusi/lembaga negara demokratis. dalam pandangan institusionalis ini, korupsi segera mendapatkan obat penawarnya yaitu reformasi birokrasi dan perbaikan administrasi serta transparansi juga peran minimalisir negara. pemerintah dijadikan katalisator bagi pemodal untuk berhadapan dengan rakyat negara itu sendiri.
perbaikan model institusionalis ini samasekali akan gagal, bukan hanya karena konsep ini sangat tidak adil bagi rakyat namun juga karena konsep ini menyimpan penyakit bawaan yaitu liberalisasi. konsep ini juga tidak sensitif secara kultural dimana penerapankonsepa akan berbeda pada setiap negara. perkembangan masyarakat yang berada di masa post diktatorial juga tidak pernah dihitung sebagai kendala atauun kekkhususan kontradiksi yang akan mempengaruhi keseluruhan proses. pelaksanaaan reformasi pada tingkatan institusi pemerintah bisa saja dilakukan secara formal namun relasi informal seperti klientalisme politik/politik kroni yang menjadi bangunan dasar demokrasi tidak akan pernah terhapus karena memang hal ini dipelihara sebagai hal yang menguntungkan bagi modal. good governance tidaklah semewah dan se mujarab promosinya karena seperti konsep fungsionalis lainnya, konse ini membawa cacat lahir yaitu hanya menyelesaikan masalah dari permukaan tanpa mencerabut akarnya sehingga masalah yang sama akan terus muncul dalam kualitas yang berbeda. penyelenggaraan good governance yang diiringi dengan keyakinana semu tentang konsep ini seperti yang dipraktekka pada saat ini hanya akan menjatuhkan negara pada labirin korupsi.

Kamis, 08 September 2011

Labirin isu Korupsi (1)

Selama satu minggu aku menyelesaikan review jurnal komparasi politik untuk menyelesaikan tugas kuliah. jurnal yang kubaca ini termasuk jarang dipublikasikan apalagi di indonesia, masalahnya sederhana saja karena Sage Publication tidak menerbitkan jurnal gratis leat internet sementara mahasiswa seperti aku selalu berharap ilmu itu bisa didapat gratis. salah satu tema yang aku pilih adalah soal korupsi, yah memang masalah umum dan klise. tapi berbeda dengan bahasan lain tentang korupsi, artikel ini menyajikan dimensi yang lebih unik.
Pembahasan mengenai korupsi selalu mengarah pada bagaimana korupsi bermula dan apa dampaknya. pembahasannya pun seringkali berujung pada solusi tentatif ataupun penyimpulan yang fatalis. misalnya, beberapa ahli mengatakan bahwa seharusnya diadakan reformasi birokrasi agar korupsi dapat ditekan ke level terendah. solusi ini berdasarkan asumsi bahwa birokrasi merupakan akar korupsi untuk itu harus dirubah menjadi sistem organisasi yang efektif. berbeda dengan para ahi, para aktvis dan praktisi politik mengambil kesimpulan bahwa korupsi adalah penyakit negara dan harus diberantas tuntas sampai akarnya. asumsi ini mungkin sangat berpihak pada rakyat tapi menurut saya sendiri terlalu reduksionis karena isu korupsi akan bersinggungan dengan kenyataan relasi klientalis dan patronase politik.
kedua solusi ini seringkali menegasikan fenomena yang janggal dalam sistem demokrasi yang dipromosikan oleh mereka. fenomena kejanggalan ini bisa kita ringkas dengan pertanyaan "mengapa Pemerintahan korup tetap mendapatkan dukungan publik?". dalam artikel "Why do Corrupt Goverment maintain Public Support", Luigi Manzetti dan Carole J Wilson berpendapat bahwa masyarakat yang berada di Negara yang memiliki institusi demokratik yang lemah dan memiliki hubungan patron klien yang kuat cenderung mendukung pemimpin korup untuk mendapatkan keuntungan pribadi. dalam kondisi ini, isu korupsi dipersinggungkan dengan isu klientalisme politik sebagai fenomena respirokal.
Pembahasan mengenai korupsi politik yang hanya membahas akar dan dampaknya secara normatif seringkali melokalisir pembahasan mengenai korupsi politik dalam wilayah penegakan hukum dan tidak membahas secara spasial. dampak yang paling sering dlupakan dan coba diulas oleh artikel tersebut adalah dampak korupsi politik terhadap disfungsi demokrasi. dalam disfungsi demokrasi, korupsi politik menghasilkan dua aspek yaitu, apatisme masyarakat dan civil disondicene (ketidakpatuhan masyarakat). apatisme masyarakat terhadap politik yang dipicu oleh korupsi politik dapat ditelusuri di Indonesia ketika media secara terus menerus memuat kasus korupsi politik dan mendelegitimasi negara tanpa penyelesaian secara kongkrit oleh negara, dalam kasus indonesia masyarakat sudah mengetahui bahwa kasus korupsi politik terjadi di selueurh sektor pemerintahan baik pusat hingga daerah. media massa selalu menjadikan kasus korupsi politik sebagai headline dan seringkali beruntun selama beberapa edisi namun juga ditampilkan bahwa kasus korupsi selalu lolos dari ancaman hukum berat, para koruptor selalu mendapatkan remisi dan cenderung tetap tanpa cela bahkan masih dapat menjadi kontestan pemilu. fenomena ini mebuat masyarakat skeptis terhadapa penegakan hukum bagi para koruptor dan membuahkan sikap apatis terhadap dinamika politik. namun, tidak hanya berhenti disitu, masyarakat juga menangkap politik sebagai peluang ekonomi dan tidak perduli pada siapa yang dipilihnya karena dalam pandangan masyarakat para pemimpin politik sama saja hanya berakhir pada korupsi setelah ia berkuasa. pada tingkatan yang lebih ekstrim, pandangan skeptis masyarakat terhadap politik dapat melahirkan pemberontakan dan perlawanan masyarakat terhadap negara/civil disobdience, fenomena penggulingan kekuasaan baik secara langsung melalui people power ataupun seperti impeachment, mundurnya perdana menteri dan delegitimasi pemerintah.
korupsi memang selalu diupayakan menjadi definisi buyar dari penyalahgunaan kekuasaan untuk kepentingan pribadi hingga tindakan perusakan internal dalam sistem ataupun sekedar penyelewengan dana. namun solusi yang dihadirkan dengan hanya beranggapan bahwa reformasi birokrasi dapat memberantas korupsi tampaknya tidak begitu mendapatkan dukungan ketika disandingkan dengan isu klientalisme politik yang lebih rumit.
korupsi sebagai sistem respirokal dalam kekuasaan telah menjadi labirin dalam politik demokratis karena pembentukan kroni/klien dalam kontes pemilu telah menjadi kebutuhan utama dalam strategi pemenangan pemlu terutama di daerah yang luas dan jumlah pemilih yang banyak. dengan melakukan reformasi birokrasi dan memberikan kekuasaan kepada pemerintahan korup sebenarnya para pengusul pemberantasan korupsi hanya berbicara dengan mata tanpa otak.
korupsi sebagai sistem respirokal dalam kekuasaan aharus ditelisik lebih mendalam dari permasalahan apatisme masyarakat, civil disobdience, sistem pemilu dan regenerasi keuasaan bahkan aspek kultural.
ah mampat sudah otak ini,.. nanti disambung lagi deh...

Sabtu, 03 September 2011

Apakah artinya Mobilisasi yang didasarkan pada kepentingan dan kesiapan massa ?

Garis Massa mengajar kita bahwa kita harus mulai dan bergerak atas dasar kepentingan obyektif massa. Ini berarti bahwa kita harus bergerak atas dasar kebutuhan nyata mereka dan tidak ada yang kita pikirkan. Oleh karenanya, tidak peduli maksud kita amat baik jika kita menyimpang dari kepentingan obyektif massa, pastilah kita akan terpisah dari massa pada saat itu juga.
Akan tetapi, biasanya massa belumlah menyadari kebutuhan obyektif mereka. Mereka masih tidak dapat memahami kebutuhan untuk mengubah, dan mereka belum siap untuk perubahan. Jika kita bertahan dan ngotot dengan posisi kita, kita akan terasing dan terpisah dari massa ‑‑tidak peduli betapa benar kita. Kita harus aktif sampai mayoritas mereka mengakui ide yang kita bentuk dan sampai mereka siap dan berketetapan hati untuk melakukannya.
Bagaimana kita dapat mengerjakan ini ? Kita dapat membagi massa kedalam tiga bagian ; Mereka yang maju, mereka yang sedang-sedang dan mereka yang terbelakang. Bagian yang maju dari massa mudah dapat memahami kebutuhan untuk perubahan dan mereka siap melakukan perubahan ini. Bagian yang terbelakang dipihak lain biasanya memiliki tanda pengaruh keterbelakangan, ragu‑ragu atau menolak. Bagian sedang-sedang atau tengah biasanya mengerti dan memahami kebutuhan akan perubahan, tetapi bimbang dan mutlak mereka tidak siap.
Kita terutama tergantung pada bagian yang maju dari massa, bagian yang paling maju, aktif, bersemangat dan tertarik untuk mengubah. Melalui bagian yang paling maju ini, kita dapat mengerjakan bagian tengah dan berusaha memenangkan hati mereka yang terbelakang. Dengan cara ini kita secara tepat memimpin massa berdasarkan kepentingan obyektif mereka dan dengan memperhitungkan kesiapan mereka untuk melakukan perubahan.
Jika kita melakukan ini tanpa memperhitungkan kesiapan massa, kita sudah melampaui kesadaran dan kesiapan mereka satu hari. Bila itu terjadi, maka kita akan mengerakan mereka dengan mengkomando mereka dan bukan atas dasar inisiatif dari mereka memahami dan menerima maka, ini adalah komandoisme.
Jika kita memakai kepemimpinan pada kepercayaan dan mengerahkan massa besar tetapi terbelakang, kita akan menjadi ekor dari massa. Apa yang akan terjadi adalah bagian yang maju dan menengah dari massa sudah bersiap dan mengajak suatu perubahan, akan tetapi kita menjadi orang bimbang dan massa adalah orang yang akan meyakinkan kita. Maka, kita akan menjadi buntut mereka. Inilah buntutisme.

*Pecahan Materi garis Massa PRD Jabar Dokumentasi 2007

Apakah Dari Massa untuk Massa itu?

Metode yang tepat dalam memimpin massa adalah "dari massa untuk massa". Ini berarti mengumpulkan ide yang terpencar‑pencar, merumuskannya, dan mengembalikannya kepada mereka dan menjelaskannya keseluruhan gagasan sampai mereka menerima dan menuruti ide tersebut.
Kepemimpinan "dari massa untuk massa" adalah sesuai dengan Garis Massa. Untuk memahami kondisi dan masalah‑masalah dari massa, kita harus bersandar pada pengetahuan dan kecerdasan massa dan kita yakin bahwa keputusan‑keputusan dan rencana‑rencana yang tepat dapat dibentuk hanya apabila massa berpartisipasi dan menyumbangkan pengalaman dan pengetahuan mereka. Itulah sebabnya, kita bertanggung jawab untuk bergaul dan membuat investigasi ditengah‑tengah massa, mengumpulkan gagasan‑gagasan yanq masih terpencar‑pencar dan belum sistematis. Dengan menganalisa dan memasukan gagasan‑gagasan ini, dengan menghargai dan mempercayai massa, memungkinkan kita menyempurnakan gagasan‑gagasan yang sudah terkumpul dan sistematis, yang mencerminkan kondisi real massa, dan massa menjadi jela bagaimana persoalan‑persoalan tersebut bisa diatasi.
Untuk melaksanakan gagasan‑gagasan yang kita bentuk dan untuk mengatasi persoalan‑persoalan massa! kita bertumpu pada kemampuan cdan kokuatan massa. Sekalipun per~oalan tersebut bRea~, kita yakin, sepanjang keputusan dan persatuan massa bulat dan penah kita bisa mengatasinya. Itulah sebabnya! menjadi tanggung jawab kita untak secara sabar menjelaskan kepada massa ide‑ide yang kita susun dari mereka. Kita mengikuti ide‑ide ini ditengah-tengah massa sampai mereka memeluknya sebagai milik.i mereka senciiri dan melaksanakannya melalui, mobilisasi kolektit mereka.

*Pecahan Materi Garis Massa PRD Jabar Dokumentasi 2007

Apakah Garis Massa itu ?

Garis massa adalah prinsip revalusioner yang mengajar kita tegak berdiri dan percaya pada massa untuk pembebasannya. Prinsip ini didasarkan pada kenyataan baNwa massa dan hanya massa yang dapat membuat sejarah.
Hal ini sudah dibuktikan oleh sejarah dunia ratus tabun yang lampau, bahwa faktor yang menentukan dalam perubahan masyarakat tidak lain daripada massa. Adalah kekuatannya dalam produksi yang membuat masyarakat bertahan hidup. Melalui pengetahuan dan kecerdasannyalah pengetahuan dan kehidupan masyarakat berkembang. Dengan kekuatannya, setiap kekuatan yang merintangi kemajuan masyarakat dapat disingkirkan. Itulah sebabnya kita mengata­kan bahwa massa adalah pahlawan sesungguhnya. Keberhasilan setiap tujuan tergantung atas dukungan dan partisipasi massa. Maka, demi keberhasilan perubahan perlu bagi kita bersandar dan percaya kepada massa.
Keberhasilan setiap tujuan dan solusi setiap masalah tergantung pada partisipasi dan mobilisasi aktif massa. Kita harus terjun ditengah-tengah massa dan menyatu dengan mereka. Dengan sabar membangkitkan, mengorganisir, dan menggerakkan massa. Kita bisa membuat mereka membentuk dan menunjukan kekuatan mereka dalam perubahan revolusioner. Inilah satu‑satunya cara. Tidak ada cara lain untuk merebut kebebasan dan demokrasi !
Adalah tanggungjawab kita untuk mempelajari dan mempraktekan Garis Massa. Perlu bagi setiap orang‑orang revolusioner untuk mengolah diri dalam usaha menggerakan massa dengan sabar dan tekun di tengah‑tengah massa, dengan rendah hati bergaul dengan massa. Dengan cara ini, kita bisa mencegah sikap dominasi dan menghindari terpisahnya diri kita dari massa.

*Pecahan materi Garis Massa PRD Jabar dokumentasi 2007

Selasa, 23 Agustus 2011

Trik Debat Logika

disusun oleh Roliv
dari berbagai sumber

1. Ad hominem:
menyerang orangnya bukan menjawab isinya. Ketika seorang arguer tidak dapat mempertahankan posisinya dengan evidence/ fakta / reason, maka mereka mulai mengkritik sisi kepribadian lawannya.
a. Ad Hominem Abusive:
menggunakan kata-kata yg menyerang langsung penulis alih-alih membantah argumennya.
Contoh :
• Cakil : Kekacauan dalam organisasi disebabkan salah satunya oleh rendahnya kualitas sumber daya manusia yang ada.
• Pacul : Ah, itu kan pendapat anda yang sombong dan mau turut campur saja urusan orang lain.
Penjelasan:
• Si Pacul sama sekali tidak memberikan argumentasi lawan ataupun menunjukkan kesalahan dari argumentasi si Cakil, melainkan menyerang pribadi si Cakil dengan mengatakan sebagai 'sombong' dan 'mau tahu urusan orang'. Apabila sikap si Paculseperti itu, maka apa gunanya dilakukan suatu diskusi lagi? Suatu diskusi adalah untuk membahas suatu masalah/ issue guna mendapatkan berbagai macam sudut pandang dan pemecahannya.

b. Ad Hominem Circumstansial :
menggunakan hal-hal di sekitar si penulis dalam hubungan yg tidak relevan, untuk menyerang si penulis.
Contoh :
• Cakil : Kenaikan harga BBM memang sangat diperlukan pemerintah untuk mengatasi kesenjangan defisit neraca pembayarannya.
• Pacul : Ah, kamu kan memang sudah kaya raya, jelas saja tidak merasakan penderitaan rakyat.
Penjelasan:
• Jawaban si Pacul mengenai apakah Cakil itu kaya atau tidak, tidak ada hubungannya dengan argumentasi yg dikemukakan Cakil. Hanya karena si Cakil kaya, tidak menjadikan argumentasinya tidak valid. Kedua, disini terdapat gejala Logical Fraud kedua yaitu: Mind Reading (membaca pikiran) : bagaimana si Pacul tahu isi hati si Cakil bahwa ia dikatakan tidak merasakan penderitaan rakyat?

c. Ad Hominem Tu Quo Que :
mengatakan bahwa si penulis tidak berhak menyatakan hal tersebut karena ia tidak melakukan apa yang dikatakannya.

Contoh :
• Cakil : Dalam kondisi tekanan ekonomi seperti sekarang ini maka sebaiknya kita menghemat pemakaian energi dan mencegah pemborosan2 yang tak perlu.
• Pacul : Ah, mobil anda saja land rover yang terkenal boros bensin, anda tidak pantas untuk menganjurkan penghematan.
Penjelasan/Paradox:
• Bagaimana tingkah laku si Cakil dalam kenyataannya tidak memiliki relevansi untuk menjelaskan kevalidan argumennya. Disamping itu, kita tidak tahu sama sekali tentang pertimbangan2 apa yang terdapat dalam benak si Cakil untuk menggunakan mobil Land Rover.

2. Appeal to ignorance (Argumentum ex silentio)
Menganggap suatu ketidaktahuan sebagai fakta atas sesuatu.
Contoh:
• Kita tidak memiliki bukti bahwa Tuhan tidak ada, maka dia ada.
• Tidak ada orang yang pernah mengkritik kami selama ini, jadi segala sesuatunya pasti baik-baik saja.
Penjelasan/Paradox:
• Ketidaktahuan akan sesuatu hal tidak serta merta mengatakan bahwa sesuatu itu ada ataupun tiada. Tiadanya orang yang mengkritik selama ini bisa saja disebabkan oleh sebab2 lain (misal: sungkan, takut, mengisolasi diri, dsb) yang sama sekali tidak serta merta berarti bahwa segala sesuatu berjalan dengan baik-baik saja.Peryataan / statement seperti itu jelas menyalahi kaidah2 logic, sehingga tidak perlu dipertimbangkan sebagai sesuatu hal yg bermanfaat, karena apabila diteruskan hanyalah mengarah pada debat kusir.

3. Appeal to faith
Iman sebagai dasar argumen
Contoh :
• Bila anda tidak memiliki iman, maka anda tidak akan mengerti.
Penjelasan/Paradox:
• Bila seorang pendebat berdasarkan pada iman sebagai dasar dari argumennya, maka tiada lagi yang dapat dibicarakan dalam diskusi. Itu namanya bukan diskusi, tapi pemaksaan kepercayaan. Iman, dalam definisinya adalah suatu kepercayaan yang tidak berdasar pada logika, evidence maupun fakta. Iman berdasarkan pada pikiran yang irasional, dan hanya menimbulkan kekeraskepalaan (bebal, fanatik).


4. Argument from authority (Argumentum ad verecundiam)
Menggunakan kata-kata "para ahli" atau membawa-bawa otoritas sebagai dasar dari argumen instead of menggunakan logic dan fakta untuk mendukung argumen itu.
Contoh :
• Profesor X, Doktor Y dari Pusat Riset ABC mengatakan berdasarkan penelitian ilmiah bahwa teori evolusi itu tidak dapat dibuktikan, dan yang benar adalah teori inteligent-design..
• Di Amerika pernah ada penelitian bahwa ketika orang yang meninggal ditimbang secara teliti, maka bobotnya berkurang sedikit. Ini membuktikan adanya roh yang meninggalkan tubuhnya.
Penjelasan/Paradox
• Sesuatu tidak lantas menjadi benar hanya karena suatu otoritas mengatakan sesuatu hal. Bila pendebat memberikan testimoni dari seorang ahli, lihat apakah dilengkapi dengan alasan yang logis dan masuk akal, serta hati-hati terhadap keotentikan sumber dan evidence di belakangnya. Seringkali suatu penelitian dibuat seakan-akan canggih dan kredible tetapi setelah dicek ke komunitas profesinya ternyata tidak mendapatkan pengakuan ataupun ditolak mentah2 sebagai pseudo-science. Bahkan ada nama-nama ahli atau pusat riset tertentu yang fiktif belaka. Perhatikan juga karena seringkali, yang bersangkutan mengutip penelitian tersebut secara sepotong-sepotong (tidak lengkap) dan out of context.

5. Argument from adverse consequences
Contoh :
• Bencana terjadi karena Dewa / Tuhan menghukum orang yang tidak percaya; oleh karena itu kita harus percaya kepada Dewa / Tuhan.
• Allah telah marah dan menghukum dengan mengirimkan bencana Tsunami di Aceh yang menewaskan beratus-ratus ribu muslim, oleh karena itu kita harus bertobat dan masuk Kristen.
Penjelasan/Paradox
• Hanya karena suatu bencana terjadi, tidak mengatakan sesuatu mengenai eksitensi maupun non-eksistensi dari sesuatu.Ataupun tidak menyatakan suatu keharusan untuk mempercayai sesuatu.

6. Menakut-nakuti (Argumentum ad Baculum)
Argumen yang didasarkan pada tekanan atau rasa takut.

Contoh:
• Bila anda tidak percaya kepada Tuhan, maka akan masuk neraka dan disiksa secara mengerikan sekali selama-lamanya.
• Apabila anda tidak mengakui bahwa pendapat saya adalah benar, maka anda adalah seorang pengkhianat.
Penjelasan/Paradox:
• Dengan menakut-nakuti, menekan ataupun mengancam, justru menunjukkan betapa lemahnya argumen mereka tanpa bisa memberikan evidence ataupun support atas argumentasinya itu. Biasanya hal ini dilakukan apabila ybs sudah merasa kepepet dan tidak tahu lagi apa yang harus diargumentasikan utk mempengaruhi si lawan bicaranya.

7. Argumentum ad ignorantiam
Suatu argumen yang mempelesetkan ketidaktahuan seseorang sebagai pendukung atas kebenaran argumennya.
Contoh:
• Pernyataan kami pasti betul karena tidak ada yang pernah membuktikan salah.
Penjelasan/Paradox
• Anda tidak bisa membuktikan hal yg sebenarnya tentang perguruan kami, maka semua yang anda katakan itu pasti salah sedangkan pendapat saya pasti benar (karena kami orang dalam).

8. Argumentum ad populum
Argumen yang digunakan untuk mendapatkan popularitas dengan menggunakan issue-issue yang sentimental daripada menggunakan fakta atau alasan.
Contoh:
• Orang kristen adalah anak Tuhan yang diserang bertubi-tubi oleh anak2 gelap. Lihatlah betapa kita selalu dimusuhi dunia, lihat saja pada sejarah gereja purba, dimana umat kita disiksa dan dibunuh secara keji.
Penjelasan/Paradox
• Kenyataannya mengatakan justru sebaliknya, pada abad 2 M baru ada 2% gol.Kristen tapi memiliki kekuatan politis dalam kerajaan romawi. Merekalah yang membunuhi orang2 pagan (source: Prof.Richard Rubinstein, "When Jesus Became a God").
• Kedua, sikap eksklusifitas dan fanatisme mereka itulah yang menyebabkan mereka tidak bisa diterima secara baik di lingkungan mereka. Jadi akar permasalahan justru ada dalam diri mereka sendiri, tapi dikambing-hitamkan ke luar untuk mencari simpati dan dukungan.
contoh
• Mengapa anda terus menerus membantah argumen kami? Bukankah saya sudah memperlakukan anda dengan ramah?

9. Bandwagon fallacy
Menyimpulkan suatu idea adalah benar hanya karena banyak orang mempercayainya demikian
Contoh:
• Sebagian besar orang percaya pada Tuhan, maka Ia pasti ada.
• Kristen adalah agama mayoritas di dunia, jadi Kristen pasti benar.
Penjelasan/Paradox
• Hanya karena sekian banyak orang mempercayai sesuatu tidaklah membuktikan atau menyatakan fakta mengenai sesuatu. Contohnya adalah ketika Galileo mengatakan bahwa bumi bulat, maka ia ditentang oleh mayoritas orang dijamannya. Mayoritas mengatakan bumi datar tidak serta merta membuktikan kebenarannya.
10. Begging the question (mengantisipasi jawaban)
Contoh :
• Kita harus mendorong generasi muda kita untuk menyembah kepada Tuhan untuk meningkatkan moralitasnya.

Penjelasan/paradox
• Tetapi apakah agama atau pemujaan benar-benar menyebabkan pertumbuhan moral? Ataukah karena sebab yang lain??? (misalnya: pendidikan moral, lingkungan pendukung, sistem manajemennya, dsb).

Kamis, 18 Agustus 2011

Cerita tentang Puan Yang Tersandung Akhir

:Nona yg merasa hidupnya berakhir

Pagi tlah branjak lelap pun tak bisa kujalani haruskah ku pakai kata-kata Pablo kalau kau sedikit demi sedkit berhenti mencitaiku haruskah ku sedikit demi sedkit berhenti mencintaimu.

Saat lelakiku katakan ya sudah akhiri saja

Kan kuminta Tuhan tuk kembalikan waktu

Karena nyatanya jiwaku takut kehilanganmu

Ah,lelaki

Inginku dekap dirimu

Hingga ku tak lupa lagi bagaimana melukis rasa lewat malam yang berpucuk rindu

Ya,lelakiku

Inginku bersamamu malam ini

Hingga dapat kurasakan dahaga embun pagi esok rasuki ragaku

Huft, lelakiku

Maaf malam ini kecewa yang kuberi padamu

Maaf telah torehkan luka di hatimu

Ku ‘kan minta Tuhan ‘tuk tuliskan cintaku lagi dihatimu hingga ku lelap dalam keabadian-Nya.

Rembulan nan berhujan


***

Hujan

kutitip dia dalam rintikmu biarkan tetesnya basahi ragaku,agar ia tak dengarkan pedihnya hatiku

dan raih bunga tidur indah nan selimuti jiwa pun bersapa dalam tiap hela nafasnya.

Selamat tidur lelaki, lelap tidurku hanya untukmu


***

Rembulan

Usah setia, biarkan kunang-kunang yang temaniku

Cukup terangi dia saja hingga terpejam lewat bisikan Aishiteru dalam benaknya serta selimutkan perasaaku yang sangat mendalam ini

Sayangku takkan pekat padamu


***

Rindu,

Aku rindu senyum itu, aku rindu tatapan itu, rindu, aku rindu, kenapa?

Karena kamu terlanjur ada dalam perasaanku

Rembulan esok pagi tetes hujan itu kan terganti.

By: Nez

Lari,Laki,dan Laku

Lari

Berlari Kemudian Menyendiri

Laki

Berpasangan Kemudian Menyelingkuh

Laku

Berbincang Kemudian Meniduri

Menikah?

oleh: Nez

Menikahlah. Saat proses menuju menikah dipahami

Menikah. Apa itu adat,agama,dan sukses atau kawin?

Nikah. Ya Nikahlah.Saat cerai tidak menjadi benalu pada hubungan

Kamis, 27 Januari 2011

Determinasi Historis Marx

Determinasi historis yang digunakan oleh Marx pada The German Ideology kemudian menjadi dasar bagi konsepsi materialis tentang sejarah atau materialisme historis Marx. Teori ekonomi politik marxis juga diawali oleh konsepsi ini. Marx kemudian melanjutkan penjelasan konsepsi materialis tentang sejarah dalam sumbangan untuk kritik terhadap ekonomi politik. Dalam tulisan inilah Marx mengenalkan konsepsi dasar bagi analisa ekonomi politik marxis yaitu konsepsi basic structur dan superstructure. Basic structure merupakan corak produksi masyarakat, cara manusia secara kolektif bekerja memenuhi kebutuhan hidup substansial. Basic structure tersebut menentukan bentuk dan susunan superstruktur. Superstruktur terdiri dari ideologi, politik, budaya, agama, hukum, pendidikan dan lainnya dianggap sebagai refleksi dari basic structure. Penjelasan Marx dalam “Pengantar Pada Sebuah Sumbangan Untuk Kritik Terhadap Ekonomi Politik “(1859), adalah sebagai berikut.
“…saya berkesimpulan bahwa hubungan-hubungan hukum, dan dengan demikian pula bentuk-bentuk negara, tidak dapat dipahami secara tersendiri, pun tidak dapat diterangkan atas dasar apa yang disebut kemajuan umum pikiran manusia, tetapi bahwa hal-hal itu berakar dalam kondisi-kondisi materiel dari kehidupan, yang oleh Hegel disimpulkan menurut cara Inggris dan Prancis abad kedelapan belas di bawah sebutan civil society (masyarakat sipil); anatomi masyarakat itu harus dicari di dalam teori ekonomi.”
“…Dalam produksi sosial yang orang-orang lakukan, mereka mengadakan hubungan-hubungan tertentu yang merupakan keharusan dan yang tidak tergantung dari kehendak mereka; hubungan-hubungan produksi ini sesuai dengan tahap perkembangan tertentu dari kekuatan-kekuatan produksi materiel mereka. Keseluruhan hubungan-hubungan produksi ini merupakan struktur ekonomi masyarakat-dasar yang nyata, di atas mana timbul struktur-struktur atas (superstructures) hukum dan politik dan dengan mana cocok pula bentuk-bentuk kesadaran sosial tertentu. Cara produksi kehidupan materiel menentukan sifat umum dari proses-proses sosial, politik, dan spiritual dari kehidupan. Bukan kesadaran manusialah yang menentukan eksistensinya, melainkan sebaliknya; eksistensi sosialnyalah yang menentukan kesadarannya.”
Paradigma analisis perkembangan masyarakat ini kemudian melahirkan identifikasi perkembangan masyarakat melalui corak produksinya, perkembangan sejarah masyarakat menurut analisa Marx dan Engels yang mereka curahkan pada karya Manifesto Komunis terbagai pada beberapa tahap yaitu; komunisme primitif atau masyarakat tribal primitif yang memiliki corak produksi kolektif dan alat produksi sederhana sementara hasil produksi diproduksi bersama dan dinikmati bersama juga. Kemudian masyarakat perbudakan/masyarakat kuno, feodalisme, dan Kapitalisme. Setiap tahap perkembangan masyarakat memiliki ciri-ciri khusus. Dalam setiap tahap ini juga manusia berinteraksi dengan alam dan memproduksi kebutuhan hidup mereka dengan cara yang berbeda-beda, surplus produksi kebutuhan pun didistribusikan dengan cara yang berbeda-beda. Masyarakat perbudakan didasari oleh dominasi kekuasaan pemilik budak dengan budak, feodalisme berlandaskan pada pemilik lahan/tuan tanah dengan petani tak berlahan, kapitalisme berlandaskan pada kelas kapitalis dan kelas pekerja. Pertentangan dalam kapitalisme terdapat pada kenyataan bahwa kapitalis memiliki alat produksi, distribusi dan pusat pertukaran sementara kelas pekerja hanya memiliki tenaga mereka untuk dijual pada kaum kapitalis dan mengkonsumsi hasil produksi kapitalis untuk bertahan hidup.
Dalam manuskrip ini, materialisme historis dapat dilihat melalui beberapa prinsip yaitu;
1. Corak produksi masyarakat dalam pemenuhan kebutuhan merupakan basis dari pembentukan semua aspek kehidupan sosial
2. Terdapat pembagian kerja yang menjadi kelas sosial dalam hubungan produksi yang berdasarkan pada kepemilikan kekayaan dimana terdapat sebagian orang hidup dari hasil kerja orang lain
3. Sistem pembagian kelas tersebut bergantung pada corak produksi
4. Corak produksi berdasarkan tingkat produktifitas yang menghasilkan surplus produksi
5. Masyarakat mencapai tahapan perkembangan masyarakat yang baru setelah kelas dominan digantikan oleh kelas baru dengan menjatuhkan kekuasaan politik yang menjalankan hubungan produksi lama yang tidak lagi sesuai dengan kekuatan produksi baru. Poin ini terletak pada suprastrktur masyarakat arena politik dalam bentuk revolusi dimana kelas bawah membebaskan kekuatan produksi dengan membentuk hubungan produksi baru dan menciptakan hubungan sosial baru.
Materialisme historis jelas bertentangan dengan konsepsi dan pandangan sejarah mainstream yang didominasi oleh idealisme dan metafisika. Pandangan hegelian yang menyebutkan bahwa sejarah berulang dengan sendirinya dan bahwa gagasan dan peristiwa-peristiwa besar akan berulang juga dibantah oleh marx melalui konsepsi ini dalam “XVIII Brumaire of Lois Bonaparte”. Marx tidak pernah percaya bahwa sejarah berulang, menurutnya sejarah tidak pernah berulang akan tetapi maju terus dengan detail yang berbeda. Meskipun dalam beberapa hal seakan terjadi pengulangan melalui kemiripan ciri atau simbol peristiwa namun jelas telah terjadi perubahan baik secara kuantitatif maupun kualitatif. Artinya, sebuah peristiwa memiliki kekhasan dan kontradiksinya sendiri meskipun terhubung dengan peristiwa lain di masa yang lain atau masa sebelumnya. Sebuah perubahan pun tidaklah dapat terulang ataupun ditujukan untuk mengulang kejayaan masa lalu karena perbedaan kualitatifnya ditentukan oleh dialektika material sejarah.


Pada bagian pertama XVIII Brumaire of Lois Bonaparte, Marx berargumen sebagai berikut;
“… hegel mengungkapkan bahwa semua kenyataan dan tokoh-tokoh yang sangat penting di dalam sejarah dunia terjadi, seakan dua kali. Hegellupa menambahkan bahwa yang pertama kali sebagai tragedi yang kedua kali sebagai lelucon.”
Akar pertentangan pandangan sejarah dengan kaum idealis yang terwakili oleh Hegel terletak pada perbedaan cara pandang terhadap realitas. Hegel memandang bahwa proses dialektika sejarah terus menerus berlangsung untuk mencapai tingkat kesempurnaan dan bahwa realitas ditentukan oleh mental dan pemikiran (ide) sedangkan substansi material adalah refleksi dan ilusi dari pemikiran (ide) tersebut. Pandangan ini dibantah oleh Marx yang meskipun bersepakat dengan konsepsi dialektika hegel namun Marx membalikkan filsafatnya pada materialisme. Menurut Marx, realitas tidak ditentukan oleh ide dan gagasan namun ditentukan oleh dialektika material atau realita itu sendiri sedangkan ide dan gagasan merupakan refleksi dan ilusi dari realita atau dialektika material tersebut.
Pandangan mainstream lain mengenai sejarah berpendapat bahwa gagasan dan orang-orang besar menentukan jalannya sejarah juga ditentang oleh Marx dalam karyanya Grundrisse (1858) yang menyebutkan bahwa:
"Masyarakat tidak terdiri dari individu-individu namun mewakili interrelasi, dalam relasi tersebutlah terdapat individu-individu.”
Kritiknya terletak pada peran masyarakat bukan individu yang menentukan sejarah bukan pula gagasan. Pembalikan cara pandang terhadap sejarah tersebut mengimplikasikan banyak pertentangan dengan versi sejarah mainstream yang berlaku di masyarakat borjuasi. Hampir setiap segi dari sejarah borjuasi dijadikan timpang oleh pandangan ini sehingga menjadikan materialisme historis marx madzhab sendiri dalam filsafat sejarah. Pandangan Marx tentang sejarah tidak mengecilkan peranan gagasan dan orang dalam membentuk sejarah. Namun, yang dijelaskan olehnya adalah basis material dari gagasan dan kehendak manusia.
Pada bagian pertama XVIII Brumaire of Lois Bonaparte, Marx berargumen sebagai berikut;
“Manusia membuat sejarahnya sendiri, tetapi mereka tidak membuatnya seperti apa yang mereka inginkanmereka tidak membuatnya dalam situasi yang mereka pilih sendiri, melainkan dalam situasi yang langsung dihadapi, ditentukan dan ditransmisikan dari masa lalu. Tradisi dari semua generasi yang mati membeban bagaikan impian buruk di benak manusia yang hidup.”
Mempelajari materialisme historis juga merupakan mempelajari dunia, mempelajari asal muasal sistem sosial dan soistem ekonomi. Melalui materialisme historis kita dapat menganalisis berbagai aspek yang memungkinkan bagi terjadinya perubahan sosial dan penyebab terbentuknya sebuah sistem sosial. Dengan konsepsi materialisme historis kita dapat menganalisis pertentangan-pertentangan yang terjadi dalam masyarakat manusi dan perubahan kualitatifnya. Seperti mengapa ada bangsa terjajah dan ada bangsa penjajah, untuk apa penjajahan di langsungkan, mengapa masyarakat di satu daerah bisa lebih maju peradabannya dibandingkan dengan yang lain sementara masyarakat yang masih jauh tertinggal. Analisa materialisme historis juga akan membawa kita pada penjelajahan ruang antara dimana kita dapat membedakan pola interaksi masyarakat menurut perilaku pemenuhan kebutuhan hidupnya, pertentangan yang terjadi dalam pemenuhan kebutuhan hingga proses perubahan pola relasi sosial menjadi pola transaksi jual beli.

Materialisme historis

Materialisme historis merupakan konsepsi revolusioner dalam pembahasan sejarah dan perkembangan masyarakat. Kajian ini menjadi salah satu basis dasar dari cara memahami dunia dan realita sosial diluar mainframe yang dibuat oleh paradigma mainstream. Pada masanya pun di abad ke 18 penemuan metode ini masih menggemparkan dunia keilmuan di eropa. Meskipun begitu Marx tidaklah menciptakan konsepsi ini sendiri. Konsepsi ini terlahir dari begitu banyak inspirasi dan upaya kritis Marx menanggapi pandangan-pandangan para ahli yang menjadi mainstream di abad ke 18. Kita dapat menemukan beberapa peta pertarungan konsepsi yang membangun konsep materialisme historis Marx. Diantaranya adalah;
1. Dialektika dan filsafat sejarah Hegel
2. Materialisme Feurbach
3. Teori evolusi Darwin
4. Kritik pengetahuan Duhring
Konsepsi meterialisme historis berasal dari upaya kritis Marx menjawab paradoks yang bermunculan pada teori-teori diatas hingga pada 1859 Marx menyimpulkan thesisnya mengenai ekonomi politik. Penjelasan-penjelasannya dapat kita lihat pada manuskrip-manuskrip ekonomi yang ditulis oleh Marx. Materialisme historis merupakan fondasi dasar bagi analisa ekonomi politik Marx.
Istilah “materialisme historis” (MH) berasal dari “konsepsi materialis tentang sejarah”, yang pertama kali diperkenalkan secara konseptual oleh Marx dalam The German Ideology. Marx sendiri tidak pernah memakai terminologi materialisme historis untuk konsepsinya tersebut. Namun istilah materialisme historis untuk konsepsi materialis tentang sejarah diperkenalkan oleh Engels pada karya Sosialisme; utopis dan ilmiah. Materialisme historis melihat akar penyebab pembangunan dan perubahan dalam masyarakat manusia dibentuk dari cara manusia secara kolektif memenuhi kebutuhan hidup atau ditentukan oleh motif ekonomi masyarakat. Sedangkan, hal-hal yang berada diluar ekonomi dalam masyarakat seperti kelas sosial, struktur politik, dan ideologi dilihat sebagai implikasi dari motif ekonomi.
Dalam The German Ideology (1846), Marx menyatakan bahwa
“ premis pertama dari sejarah umat manusia tentunya adalah keberadaan kehidupan manusia secara individu. Itu adalah fakta pertama untuk membangun organisasi jasmaniah dari individu-individu tersebut dan konskwensi hubungan mereka dengan alam…”
“…Manusia dapat dibedakan dari hewan melalui kesadaran, melalui agama atau apapun yang kau suka. Manusia sendiri mulai membedakan dirinya dengan hewan ketika mereka memproduksi kebutuhan mereka untuk bertahan hidup, suatu langkah yang sudah dikondisikan oleh organisasi jasmaniah mereka. Dengan memproduksi kebutuhan mereka untuk bertahan hidup manusia secara tidak langsung memproduksi meterial kehidupan mereka.”

Engels kemudian menambahkan dalam karyanya Sosialisme: utopi dan ilmiah,
“…Konsepsi materialis tentang sejarah dimulai dari dalil bahwa produksi alat pemenuhan kebutuhan manusia yang kemudian digunakan untuk memproduksi kebutuhan, pertukaran hasil produksi merupakan dasar dari semua struktur sosial;bahwa setiap masrakat yang muncul dalam sejarah, cara dimana kekayaan didistribusikan kepada masyarakat dibedakan oleh kelas dan kebutuhan yang bergantung pada apa yang diproduksi, bagaimana memproduksinya, dan bagaimana produksi dipertukarkan. Dari pandangan ini, penyebab utama dari perubahan sosial dan revolusi politik harus dicari, bukan dari otak manusia, bukan dari bagaimana manusia mencari kebenaran abadi dan keadilan, tapi dari perubahan mode produksi dan pertukaran.”

Rabu, 26 Januari 2011

Logika formal dan Dialektika

Oleh: Roliv

Untuk mempelajari dialektika, penting bagi kita untuk terlebih dahulu mempelajari logika formal secara komprehensif karena dialektika sendiri merupakan kritik tegas dari logika formal dan dilahirkan oleh keterbatasan-keterbatasan logika formal.
Logika formal adalah sebuah capaian penting dalam proses cara berpikir manusia, karena rumusan-rumusannya menjelaskan tentang bagaimana manusia mengidentifikasi, mengklasifikasi, dan memberikan kesimpulan terhadap seluruh gejala-gejala obyektif. Dengan demikian logika formal juga memiliki keterbatasan, karena hanya merupakan satu bagian dari capaian proses cara berpikir yang dapat berlaku dalam kurun sejarah tertentu.
Hukum logika formal dibagi menjadi tiga arus utama yaitu:
1. Hukum identitas
Hukum identitas menjelaskan bahwa 'A' sama dengan 'A' – yaitu bahwa benda-benda adalah seperti itu apa adanya, dan bahwa benda itu berposisi pada hubungan yang tertentu (pasti) satu sama lain. Ada hukum-hukum turunan lain yang didasarkan pada hukum identitas; yaitu misalnya, jika 'A' sama dengan 'A', maka 'A' tidak mungkin sama dengan 'B' atau 'C'.
2. Hukum kontradiksi
Hukum kontradiksi menyatakan bahwa A adalah bukan Non-A. hukum ini adalah silogisme negatif dari hukum identitas. Jika A selalu sama dengan dirinya maka ia tidak mungkin berbeda dengan dirinya. Perbedaan dan persamaan menurut dua hukum di atas adalah benar-benar berbeda, sepenuhnya tak berhubungan, dan menunjukkan saling berbedanya antara karakter benda (things) dengan karakter fikiran (thought).
3. Hukum tidak ada jalan tengah
Hukum ini menyebutkan bahwa segala sesuatu hanya memiliki salah satu karakteristik tertentu. Jika A sama dengan A, maka ia tidak dapat sama dengan Non-A. A tidak dapat menjadi bagian dari dua kelas yang bertentangan pada waktu yang bersamaan. Dimanapun dua hal yang berlawanan tersebut akan saling bertentangan, keduanya tidak dapat dikatakan benar atau salah. A adalah bukan B; dan B adalah bukan A. Kebenaran dari sebuah pernyataan selalu menunjukkan kesalahan berdasarkan lawan pertentangannya dan sebaliknya. Hukum yang ketiga tersebut adalah sebuah kombinasi dari dua hukum pertama dan berkembang secara logis.
Rumusan-rumusan logika formal mengandung dan lahir dari unsur-unsur material yang ada di tengah realitas, sehingga ia telah dijadikan basis bagi perkembangan ilmu pengetahuan, atau pun menghasilkan penemuan-penemuan. Namun, rumusan-rumusan tersebut tetap memiliki keterbatasan-keterbatasan yang pada akhirnya malah menghambat pengembangan lebih lanjut dari suatu temuan ilmiah. Hal ini dapat terjadi karena logika formal mengandung kebenaran, tapi juga sekaligus mengandung kesalahan.
Secara ringkas ketiga hukum tersebut bermuara pada hukum identitas, logika formal akan memulai operasionalnya ketika sudah menemukan identitasnya atau definisi baku terhadap sesuatu tersebut. Pemilahan identitas tersebut akan berimplikasi pada pembedaan atau diferensiasi dimana segala sesuatu akan selalu berbeda dengan sesuatu lainnya dan tidak mungkin sesuatu menjadi bagian dari dua identitas yang berbeda secara bersamaan.
Pemberian definisi baku atau identitas akan membuat segala sesuatu manjadi stabil dan bersifat tetap dan menjadikan dirinya final, mutlak tak bersyarat. Diferensiasi juga mengakibatkan pemahaman yang terpisah dan ketidakmampuan melacak interelasi fenomena dan menjadikan kontradiksi logis sebagai hal yang menakutkan bahkan harus dieliminir. Lebih parah lagi, perdebatan-perdebatan tentang pemberian definisi baku terhadap sesuatu menjatuhkan perdebatan ilmiah menjadi perdebatan linguistik yang meskipun cukup penting tapi sangat berpotensi untuk mengaburkan kontradiksi melalui atribusi dan pembatasan-pembatasannya.
Sebagai contoh sederhana, logika formal akan menjelaskan bahwa ikan adalah sesuatu yang tidak memiliki kaki, bernafas dengan insang dan hidup di air. Kenyataannya, ilmu pengetahuan telah membuktikan bahwa beberapa hewan yang hidup di air bukanlah sejenis ikan malahan mamalia seperti paus dan lumba-lumba, sebagian ikan memiliki kaki. Contoh lain adalah penjelasan kuno mengenai cahaya, cahaya pasti terdiri dari salah satu yaitu gelombang atau partikel namun pada kenyataannya cahaya terdiri dari gelombang dan partikel.
Dalam kehidupan sosial, logika formal tidak mampu menjelaskan perubahan-perubahan yang terjadi secara cepat dalam masyarakat seperti revolusi sosial yang menjungkirbalikkan keadaan. Revolusi perancis misalnya yang menghancurkan kuasa feodal yang dianggap ideal menjadi kekuasaan demokratik borjuis bagaimana totalitarian raja dihancurkan menjadi demokrasi para borjuis. Dilapangan suprastruktur yaitu hukum, para ahli hukum formalis tidak juga mampu menjelaskan bagaimana pergantian kekuasaan negara bisa terjadi tanpa prosedur impeachment yang rumit melalui lembaga yudikatif atau bagaimana seorang diktator bisa jatuh oleh gerakan massa non konstitusional karena para formalis selalu memahami negara terpisah dari masyarakat yang menjadi bagian intrinsik yang menentukan kontradiksi dan gerak perubahan dalam negara.
Secara konseptual logika formal disibukkan dengan cara untuk mendapatkan akhir dari kontradiksi dan selalu mencari pembenaran melalui metafisika. Logika formal juga seringkali bermasalah dalam memahami penyebab peristiwa karena hukum identitasnya yang mengharuskan sesuatu dijadikan sebagai sebab sedangkan lainnya menjadi akibat. Bagi dialektika hukum sebab-akibat bukanlah sesuatu yang mutlak melainkan hanya salah satu sisi dari keseluruhan relasi dalam sebuah sistem yang menghasilkan peristiwa tersebut.

Metode dialektika Marx

Oleh: Roliv

Materialisme Dialektik

Materialisme dialektik adalah materialisme yang menggunakan metode dialektik dan dialektika yang berlandaskan pada materialisme. Disini dialektika adalah metode untuk memberi penjelasan yang bertujuan untuk memahami sesuatu secara kongkrit dalam keseluruhan gerak perubahan dan hubungan dengan oposisinya dan segi kontradiksinya dalam suatu kesatuan.. Mengenai metode dialektikanya Marx dalam Capital Vol.1 (1867) menjelaskan bahwa:
"Metode dialektika saya, bukan hanya berbeda dengan Hegel, tapi persis kebalikannya. Bagi Hegel, proses kehidupan dari otak manusia, yaitu proses berpikir, yang di bawah panji "Ide" bahkan diubahnya menjadi satu subjek yang independen, adalah inti hakikat dari dunia nyata, dan dunia nyata hanyalah sekedar bentuk "Ide" yang eksternal dan fenomenal. Bagi saya, sebaliknya, ide bukanlah apa-apa melainkan dunia nyata yang tercermin dalam pikiran manusia, dan diterjemahkan dalam bentuk-bentuk pikiran.”( Capital Vol.1;17;1867)

Preposisi dasar dialektika adalah bahwa segala hal berada dalam proses perubahan, pergerakan dan perkembangan yang terus-menerus. Bahkan ketika tidak terlihat sesuatupun terjadi, dalam kenyataannya, materi selalu berubah. Molekul, atom dan partikel-partikel sub-atomik terus bertukar tempat, selalu dalam pergerakan. Dialektika, dengan demikian, adalah sebuah interpretasi yang pada hakikatnya dinamik atas segala gejala dan proses yang terjadi dalam segala tingkat materi, baik yang organik maupun yang anorganik. Secara sederhana dialektika merupakan logika gerak
Engels dalam Dialektika Alam (1883), mendefinisikan dialektika sebagai "ilmu tentang hukum-hukum umum tentang gerak dan perkembangan alam, masyarakat manusia dan pemikiran." Dalam “Anti-Dühring” dan “The Dialectics of Nature”, Engels memberikan satu ringkasan tentang hukum-hukum dialektika, yang memiliki tiga hukum utama yaitu;
1. Hukum kontradikisi oposisi yang berlawanan
a. Hukum kontradiksi menyatakan bahwa terdapat pertentangan dalam suatu kesatuan. kontradiksi tersebut merupakan dasar dari gerak dan sumber dari keberadaan, kontradiksi berada dalam seluruh materi. Hukum ini juga menghasilkan penjelsan interelasi antara materi, gerak, ruang dan waktu.
2. Hukum transformasi kuantitas menjadi kualitas dan vice versa
a. Hukum ini menyatakan bahwa kelanjutan dari pertambahan kuantitas akan menghasilkan lompatan kualitas dan berlaku sebaliknya. Hukum ini menyatakan bahwa proses-proses perubahan – gerak di alam semesta – tidaklah perlahan (gradual), dan juga tidak setara. Periode-periode perubahan yang relatif gradual atau perubahan kecil selalu diselingi dengan periode-periode perubahan yang sangat cepat – perubahan semacam ini tidak bisa diukur dengan kuantitas, melainkan hanya bisa diukur dengan kualitas
3. Hukum negasi dari negasi
a. Hukum negasi menyatakan bahwa alam secara konstan terus menerus meningkatkan kuantitas numerik segala sesuatu dan menegasikannya untuk menghasilkan kualitas baru. 'Negasi' dalam hal ini secara sederhana berarti gugurnya sesuatu, kematian suatu benda karena ia bertransformasi (berubah) menjadi benda yang lain.
Upaya Engels memberikan hukum-hukum umum yang berlaku pada MD memang masih terus menjadi perdebatan karena dianggap mebatasi gerak dialektik dan terlalu ambisius. Namun seperti dalam argumen Marx, hanya prakteklah yang dapat menjawab misteri perdebatan teori, hukum dialektika Engels masih terus berlaku dalam praktik hingga saat ini. Seperti dijelaskan kembali oleh hedel dalam ludwig Feurbach dan akhir filsafat jerman pada kutipan berikut;
“… Dan pandangan dialektik sendiri tak lebih dari sekadar refleksi proses otak yang berpikir. Hal itu, tentunya, juga merupakan sisi yang konservatif: pandangan tersebut mengakui bahwa tahap-tahap pasti ilmu-pengetahuan dan masyarakat dibenarkan oleh waktu dan lingkungannya, walaupun hanya dalam batasan-batasan tertentu. Konservatisme cara pandang tersebut, memang, relatif; karakter revolusionernya yang absolut—itu lah satu-satunya keabsolutan yang harus diakui.” (Engels, Ludwig Feurbach and the End of Classical German Philosophy).

MD berlawanan dengan logika formal dan metafisika atau pandangan umum yang memulai penjelasan terhadap segala sesuatu dengan menentukan definisi baku berdasarkan atributnya. Dialektika bekerja mengungkap tampilan dibalik fenomena yang di dalam MD tampilan bisa menjadi sangat kontradiktif dengan esensinya.

Dialektika

Oleh: Roliv

Metode dialektika bukanlah metode yang diciptakan oleh Marx. Sejarah mencatat bahwa metode dialektika telah dipraktikkan untuk pertamakali oleh Zeno dari Elea (490 SM) seorang filsuf yunani kuno yang diabadikan oleh karya-karya dialog Plato dan dipraktekkan lebih intens lagi oleh Sokrates (470 SM).
Metode dialektika kuno secara konsepsi berasal dari metode pencarian kebenaran dalam bentuk tanya jawab (dialog). Metode ini mengawali pencarian kebenaran melalui sikap mempertanyakan segala sesuatu, mengoreksi rasio semua jawaban dan mengkonfirmasi jawaban untuk menguji ketersalinghubungan diantara jawaban-jawaban tersebut. Metode ini dianggap sangat efektif untuk mencari kebenaran pada masanya bahkan hingga saat ini metode dialektika masih dapat ditemukan dalam perdebatan-perdebatan dialogis sebagai taktik untuk mengalahkan argumen lawan bicara (reductio absordtum). Namun, metode dialektika kuno ini memiliki keterbatasan serius dimana metode ini tidak akan mampu menjawab permasalahn-permasalah non dialogis seperti pengetahuan empiris.
Hegel melalui pandangan metafisisnya dengan menekankan pandangannya pada logika membangun persepsi gerakan tritunggal yang disebutnya sebagai dialektika. Bagi Hegel, dialektika tidak lagi sekedar metode dialogis tapi juga metode mencari kebenaran universal. Hegel menggambarkan dialektika terdiri atas tesis, antitesis dan sintesis. Metode ini juga yang melahirkan filsafat sejarah Hegel. Dialektika Hegel selalu berupaya membangun sistem yang menjadi kebenaran absolut sebagaimana tradisi pendekatan filasafat pada umumnya yang membutuhkan kepastian awal dan akhir segala sesuatu. Konstruksi idealisme dan metafisis Hegel dijelaskannya melalui argumen bahwa perkembangan alam maupun masyarakat merupakan suatu upaya penyadaran diri yang dilakukan oleh roh (Geist), proses ini melibatkan transformasi terus menerus hingga mencapai puncaknya pada tahap “pengetahuan absolut”.
Berseberangan dengan Hegel, Marx menyatakan bahwa perkembangan masyarakat tidak didasarkan pada roh atau “pengetahuan absolut” akan tetapi berasal dari dampak kontradiksi dan interelasi material yang ada dalam alam dan dalam masyarakat. Meskipun begitu, Marx menemukan karakter revolusioner dari dialektika Hegel yang tidak pernah dijelaskan secara tegas oleh Hegel sendiri yakni, dialektika menempatkan segala sesuatu dalam gerak perubahan sehingga segala sesuatu yang ada pasti musnah. Diktum ini dengan sendirinya menghancurkan anggapan tentang akhir pengetahuan manusia atau ide absolut itu sendiri. Lebih jauh lagi dijelaskan oleh Engels dalam “Ludwig Feurbach dan akhir filsafat jerman (1886)” bahwa di tangan Hegel tidak ada lagi kebenaran berupa pernyataan dogmatis atau hasil kognisi yang kemudian hanya perlu dihafalkan dalam hati, kebenaran terletak pada proses panjang meraih pengetahuan, yang meningkat dari yang rendah hingga yang semakin tinggi tanpa pernah mencapai ujung.
Marx tidak meninggalkan dialektika, akan tetapi mencerabut akar idealisme dan metafisika dalam dialektika dan memberikan materialisme sebagai landasannya. Dengan begitu dialektika tidak lagi berjalan dengan kepalanya namun dengan kakinya dan tidak terpisah dari realitas.

Materialisme

oleh: Roliv

Pandangan materialis Marx disusun oleh ketertarikannya pada diskursus materialisme kuno para filsuf atomis yang secara komprehensif ia tuangkan dalam desertasi doktoralnya mengenai Epikurus dan Demokritus. Pengaruh lain yang juga besar adalah kritik Feurbach terhadap Hegel.
Seperti yang telah kita bahas pada MH, konsepsi materialisme Marx terdapat pada dua karya berbeda yaitu The German Ideology (1846) yang ditulis oleh Marx dan Sosialisme ilmiah dan Sosialisme Utopis yang ditulis oleh Engels. Sumber lain yang dianggap lebih komprehensif dalam menjelaskan pandangan materialis Marx dapat kita lihat pada karyanya Tesis Tentang Feurbach (1845).
Menurut Marx, materialisme Feurbach telah gagal mengkritik idealisme Hegel bahkan terjatuh pada kubangan yang sama, idealisme dan religi. Bila bagi Hegel manusia adalah Roh atau Tuhan yang di satu sisi sedang terasingkan dan di sisi lain sedang dalam proses penyadaran dirinya, Feurbach berpendapat sebaliknya, manusia bukanlah Tuhan yang terasing melainkan ketika manusia memproyeksikan gambaran dirinya yang ideal dan menyembahnya maka manusia terasingkan dari dirinya sendiri.
Feurbach juga berpendirian bahwa materi bukanlah ciptaan ide seperti yang dikatakan Hegel namun ide adalah ciptaan tertinggi dari materi yang bernama otak. Namun materialisme Feurbach berhenti disini. Alih-alih menlanjutkan kritiknya dengan pandangan berbeda, Feurbach malah terjebak dalam konsep religius dan membangun persepsi sekularisme ateistik yang memfokuskan kritiknya pada agama dan membangun agama alternatif yang berdasarkan pada kritik transformasionalnya.
Pandangan materialis Feurbach seperti pandangan materialis lain sebelumnya adalah bahwa penginderaan materi hanyalah bentuk benda atau kontemplasi bukan sebagai aktifitas praktis inderawi manusia, perdebatan-perdebatan kaum materialis mengenai apa yang nyata dan tidak nyata juga terisolasi dari praktek dan hanya menjadi persoalan skolastik. Logika materialisme yang bekerja disini adalah logka formal membedakan satu sama lain (hukum identitas) sebagai bagian yang terpisah (diferensiasi). Inilah kekalahan utama materialisme lama (termasuk Feurbach) dari filsafat idealis Hegel yang dialektis. Seperti dikutip pada pernyataan berikut:
“… Feuerbach menghendaki objek inderawi, benar-benar dipisahkan dari objek pemikiran, tapi dia lupa menyadari bahwa aktivitas manusia itu sendiri sebagai aktivitas objektif [gegenstandliche]. Oleh karenanya dalam risalah "Esensi Kristiani" (Das Wesen des Christenthums), Feuerbach beranggapan bahwa hanya sikap teoritislah sebagai satu-satunya sikap manusia yang sejati, sedangkan praktek hanyalah bentuk penampakan kotor-Judaisme (agama Yahudi, pent). Oleh karenanya Feuerbach tidak mengerti makna penting aktivitas "revolusioner", aktivitas "praktis-kritis". (Theses On Feurbach;1845)

Berseberangan dengan Feurbach, Marx menyatakan bahwa sentimen keagamaan merupakan produk sosial dan individu abstrak yang dianalisa oleh Feurbach adalah bagian yang terintegrasi dengan masyarakat tertentu. Lebih jauh Marx berpendapat bahwa semua kehidupan sosial pada hakekatnya adalah praktis bukan kontemplasi teoritik bahkan kesesatan pembenaran mistis bagi teori hanya dapat dijelaskan melalui praktek dalam kehidupan sosial. Dengan begitu Marx mencerabut akar logika formal dalam materialisme kontemplatif Feurbach kemudian menambahkan dua poin penting bagi materialisme yaitu metode dialektika sebagai metode berpikirnya agar tidak terjebak dalam labirin idealisme dan praktek sebagai solusi dari kebuntuan perdebatan kontemplatif yang menjerumuskan teori pada mistisisme.

Tentang materialisme Dialektik

Oleh: Roliv
Materialisme dialektik bukanlah istilah yang dipopulerkan oleh Marx melainkan oleh Karl Kautsky seorang Marxis Jerman yang memimpin internasionale kedua istilah materialisme dialektik sendiri pertama kali digunakan oleh Joseph Dietzgen dan Frederick Engels. Pemberian istilah materialisme dialektik ini dimaksudkan untuk mempermudah pengenalan metode berpikir Marx dalam menjelaskan teorinya dan dialektika yang digunakan oleh Marx dan Engels sebagai perangkat berpikir utama dalam keseluruhan karyanya. MD dimulai dari konsepsi materialis tentang sejarah namun jika MH merupakan pembongkaran intepretasi sejarah kaum idealis, MD merupakan pisau analisa yang melandasinya.
Dialektika sendiri bukanlah hal yang baru dalam khazanah filsafat dan logika, kita dapat menemukan banyak nama yang mempopulerkan dialektika sejak Yunani kuno hingga Jerman di abad 18 dari Zeno hingga Hegel. Namun, Marx mengatakan bahwa dialektikanya sangat berbeda dengan Hegel yang dianggap puncak filsafat Jerman. Marx mengembalikan dialektika Hegel ke kakinya dan kemudian dicurahkan secara aplikatif dalam Manifesto Komunis yang menyebutkan bahwa sejarah manusia adalah sejarah pertentangan kelas.
Dalam lapangan materialisme, Marx juga berseteru dengan sesama Hegelian Kiri yaitu Ludwig Feurbach yang juga membalikkan filsafat Hegelian yang idealis. Feurbach membalikkan filsafat Hegel yang berujung pada ‘roh’, “Ide Absolut” dengan nama lain adalah “Tuhan”. Bagi Marx, materialisme Feurbachamatlah terbatas dan memiliki kontradiksi internal yang tidak selesai selain karena pembatasan definitif materialisme dari proses penginderaan manusia, materialisme Feurbach sebagai kritik terhadap Hegel dinilai gagal karena keterjebakannya pada lingkaran relijius dan sekularisme vulgar yang mengkontradiksikan dirinya pada agama dengan melupakan kontradiksinya sendiri.
Pembahasan materialisme dialektik yang disusun oleh Marx merupakan gabungan metode filsafat materialisme dan logika dialektika yang tidak akan terlepas dari kenyataan revolusi Prancis dan arus pemikiran Hegel juga Feurbach dalam ranah filsafat dan logika. Pembahasan MD merupakan pembahasan yang sangat krusial dalam pemahaman Marxisme, MD sebagai logika gerak dan logika analitik merupakan tumpu utama dalam pemikiran Marx dan intepretasi teorinya. Dengan mempelajari logika secara umum dan MD secara khusus kita akan mencapai pemahaman yang lengkap akan keseluruhan fenomena baik dalam tataran konseptual maupun tataran praktis.