Jumat, 05 November 2010

Dongeng pertentangan dari Melayu

Seorang tuan tanah Arab, kita namakan saja Halal bin Fulus, sudah lama meminjamkan uang pada seorang petani Indonesia. Petani menanggungkan tanah dan rumahnya atas pinjaman itu. Dia tak bisa melunaskan hutangnya, sebaliknya membeli makanan dan pakaian dan membayar pajak pada pemertintah Belanda saja, sebetulnya tak bisa ditutup dengan hasil tanahnya yang sebidang kecil itu. Keperluan luar biasa pada umat Islam, seperti menyunat dan mengawinkan anak dan merayakan Hari Besar Islam, Lebaran, menuntut ongkos luar biasa yang bagaimana juga rajinnya dia bekerja tak bisa dipenuhi lagi. Terpaksa ia meminjam uang lagi kepada tuan Halal bin Fulus dari Tanah Suci yang seagama dengan dia. Melunaskan hutang dan bunganya yang makin lama bertambah-tambah itu. Tuan Halal bin Fulus tahu pula akan sifatnya petani Indonesia, het zachte volk der aarde, itu bangsa yang semanis-manisnya. Gula Arabpun manis, dan tuan Fulus tak keberatan melebihi harga tanggungan. Tetapi pada satu ketika harga tanah pekarangan dan rumah petani sampai menjadi kurang atau hampir saja dengan hutang bunganya. Disini tuan Fulus baru sekarang petani ada semacam tikus didalam cengkeraman kucing. Seagama atau tidak, dengan manis atau suara keras, namun hutang mesti dibayar.

Kalau kebetulan petani ada mempunyai anak perawan yang cocok sama perasaan tuan Fulus, suka atau tak suka si perawan, karena petani kebuntuan jalan, perkara hutang mungkin dihabiskan dengan perdamaian diantara tuan Fulus dengan petani Indonesia berdua saja. Tetapi kalau petani kebetulan punya anak bujang saja, atau kalau ada perawan yang cantik tetapi jika si ayah meskipun kemauan anaknya yang tak mau dikawinkan dengan tuan Fulus yang sudah tua dan beberapa kali kawin itu, maka disini timbullah percekcokan. Tuan Halal bin Fulus kita andaikan marah dan pergi mengadu ke Pengadilan.

Perkara diperiksa. Kalua perlu tuan Fulus mencari advokad yang pintar; arief bisaksana, yang tentu akan berusaha keras, menurut nilai pembayarannya. Dalam 99 diantara 100 perkara semcam itu, tentulah tuan Halal bin Fulus berasal dari tanah Suci, yang menang. Petani yang tak kuasa membeli beras atau sehelai pakaian buat anak bini masa Lebaran, kalau tak meminjam lebih dahulu pada tuan Fulus, manakah bisa bayar advokat. Pengadilan umpamanya memutuskan, bahwa si-tani mesti menjual tanah, pekarangan, rumah dan perabotan kalau ada ; sapi atau ayampun kalau ada, buat membayar hutangnya.

Sedikit kepanjangan buat contoh, tetapi kependekan buat hal yang banyak sekali terjadi di pulau Jawa dan penting buat kehidupan orang Indonesia.

Sekarang kita bertanya : Adilkah putusan Hakim Pengadilan tadi ?

Inilah salah satu dari pertanyaan yang tiada boleh dijawab dengan ya, dan tidak saja. Karena pertanyaan itu berkenaan dengan perkara yang berhubungan dengan masyarakat yang bertentangan diantara : Yang berpunya dengan Tak berpunya.

Tuan Fulus Muslimin yang Berpunya, sebagian besar dari kaum Ulama dan Pemerintah berdasar "kepunyaan sendiri”, tentulah 100 % membenarkan putusan itu. Petani berhutang dan hutang mesti dibayar. Ini cocok dengan smua Undang kemodalan dan cocok dengan semua Agama.

Sebalinya filsafat kaum Tak Berpunya atau Undang-undang kaum Tak berpunya (dimana kaum Tak berpunya menguasai Negara) 100 % pula akan memutuskan bahwa putusan Hakim "tidak” adil.

Kalau penulis ini umpamanya berkuasa mengambil putusan, maka penulis akan menyuruh pilih saja satu dari dua putusan. Pertama, karena tuan Halal bin Fulus bukan bangsa Indonesia, supaya pulang kembali ke Tanah Suci dengan diizinkan membawa sekedarnya dari harta bendanya, atau kedua : boleh tinggal disini, tetapi mesti mengembalikan semua hartanya pada Negara Indonesia. Dalam hal kedua dia lebih dahulu mesti dijadikan "manusia yang berguna buat masyarakat Indonesia”, yaitu dengan menukar dia sebagai paraciet, shylock, lintah-darat, menjadi "pekerja” sekurangnya 13 tahun. Sesudah itu baru boleh diterima menjadi penduduk yang sama haknya dengan "pekerja” yang lain-lain.

Pendeknya dalam perkara diantara dua pokok yang bertentangan, kita tidak bisa menjawab dengan ya atau tidak (benar atau salah, adil atau dhalim), sebelum kita mengambil pendirian, mengambil penjuru dari mana kita mesti memandang, point of view. Apa yang dipandang adil dari satu pihak, berarti tak adil dipandang dari pihak yang lain, dan sebaliknya. Sebab itu kita mesti lebih dahulu berpihak pada yang lain, atau sebaliknya inilah artinya menentukan POINT OF VIEW.

Dari salah satu sudut barulah kita bisa memandang dan memutuskan ya atau tidak.

diekstraksi dari naskah Madilog (1943)
karya Tan Malaka
published by Roliv

Sabtu, 12 Juni 2010

Perjalanan Paradigma Gender di Masa Pra Kemerdekaan Novel belenggu karya Armijn Pane (1940)

oleh: Agnes Mayda I

Siapakah Armijn Pane
Armijn Pane dilahirkan di Muara Sipongi Tapanuli Selatan pada 18 Agustus 1908. Bakat mengarang ini diwarisinya dari ayahnya Sutan Pengurabaan. Armijn pane adalah seorang pengarang, dan juga seorang pendiri majalah Poedjangga Baroe.
Armijn Pane mengecap pendidikan dari HIS di Padang Sidempuan, dan Tanjung Balai, kemudian pindah ke ELS di Sibolga dan Bukittinggi, lalu masuk ke Stovia di Jakarta. Pada tahun 1927 pindah ke NIAS di Surabaya tetapi tidak lama kemudian ia pun keluar. Karena menganggap dirinya lebih cocok di sastra, sehingga akhirnya iapun masuk AMS Yogyakarta dan mengambil jurusan Sastra Klasik Barat. Setelah menyelesaikan pendidikannya, Armijn Pane memualai karir kewartawanan pada koran Soeara Oemoem di Surabaya pada tahun 1932, kemudian di mingguan Penindjauan tahun 1934 dan surat kabar Bintang Timoer tahun 1953. selain bergelut dalam dunia jurnalistik, ia pernah menjadi Pamong Taman Siswa di berbagai kota di Jawa Timur, kemudian menjadi redaktur Balai Pustaka di Jakarta.

Paradigma Gender dalam Roman
Novel Belenggu karya Armijn Pane pernah memunculkan kontroversi di kalangan sastrawan Indonesia di tahun 1940 an. Karya ini pernah ditolak oleh BAlai Pustaka namun juga mendapat dukungan dari H.B Jassin yang menyatakan bahwa Belenggu merupakan karya sastra modern Indonesia yang pertama menggambarkan kehidupan kaum intelektual sebelum perang.
Penolakan Balai Pustaka terhadap karya Armijn Pane lebih disebabkan oleh pendobrakan Armijn Pane terhadap sekat-sekat tabu masyarakat yang dianggap sebagai batasan bagi sebuah karya. Belenggu memang sebuah roman klasik yang bercerita mengenai polemic percintaan. Namun, tidak sekedar konflik percintaan yang Ia hadirkan dalam karya ini. Armijn Pane mengemas latar belakang kenyataan moral yang ada dalam masyarakat dan membenturkannya pada paradigma ideology modernisasi yang sedang berkembang di Indonesia pada masa itu, dalam hal ini adalah paradigma gender atau yang kini lebih dikenal sebagai feminisme.
Dalam kajian feminisme, Armijn Pane setidaknya memberikan dua contoh kasus nyata yang ia ungkap dalam penokohan. Yaitu pada tokoh Sumartini atau Tini dan tokoh Rohayah atau Yah. Kedua tokoh ini memiliki cara pandang yang berbeda dalam perspektif gender. Kehadiran kedua tokoh ini juga ditambahkan dengan tokoh nyonya Rusdio yang memiliki pandangan konservatif mengenai fungsi perempuan dalam keluarga. Sekat-sekat moral yang dianut oleh masyarakat mengenai paradigma gender dimunculkan oleh Pane melalui tokoh nyonya Rusdio dan perbincangan-perbincangan orang mengenai tokoh Sumartini.
Tokoh Sumartini digambarkan oleh Pane sebagai seorang perempuan modern yang mandiri, teguh berpendirian dank eras hati dalam menuntut kesamaan hak dirinya terhadap suaminya. Melalui tokoh Sumartini ini, pembaca diperkenalkan oleh Pane dengan ide Feminisme Liberal atau pada masa itu lebih dikenal sebagai paradigma emansipasi. Pandangan feminis liberal berasal dari pernyataan bahwa mengapa kaum perempuan terbelakang adalah “salah mereka sendiri”, karena tidak bisa bersaing dengan kaum laki-laki. Asumsi dasar mereka adalah, bahwa kebebasan dan equalitas berakar pada rasionalitas. Oleh karena itu, dasar perjuangan mereka adalah menuntut kesempatan dan hak yang sama bagi setiap ‘individual’ termasuk perempuan, karena “perempuan adalah makhluk rasional” juga. Dalam perspektif feminis liberal, kaum perempuan dianggap sebagai masalah ekonomi moderen atau partisipasi politik. Keterbelakangan perempuan adalah akibat dari kebodohan dan sikap irasional, serta teguh pada nilai-nilai tradisional. Industrialisasi dan modernisasi adalah jalan untuk meningkatkan status perempuan, karena akan mengurangi akibat dari ketidaksamaan kekuatan biologis antara laki-laki dan perempuan. Ide inilah yang mendasari ide emansipasi perempuan dalam struktur sosial yang juga diadopsi oleh Pane ketika ia manggambarkan karakter Sumartini.
Selanjutnya adalah tokoh Rohayah yang memiliki pengalaman hidup yang pahit dan tertindas oleh struktur keluarga ketika ia dipaksa untuk menikahi orang yang tidak dicintainya dan kemudian membawanya pada petualangan yang ia benci. Tokoh Rohayah mengalami pemaksaan struktur budaya patriarki dimana anak perempuan harus rela dijodohkan oleh orang tua dan tekanan depresif ketika ia menikahi orang yang tidak dia cintai. Hidup kemudian membawanya kearah yang berbeda ketika ia mulai kabur dari Palembang. Ia sempat menjadi gundik orang belanda di Garut untuk beberapa tahun namun kemudian ia pergi ke betawi untuk mencari orang yang ia cintai di masa kecilnya. Namun sebelum itu ia juga sempat menjadi wanita panggilan dan berubah-ubah nama untuk menutupi identitasnya. Dendam psikologis Rohayah terhadap struktur patriarki kemudian memotivasinya untuk memutarbalikkan keadaan, dengan menjadi wanita panggilan Rohayah yang lemah dan dihinakan ini kemudian mampu membuat para lelaki bertekuk lutut dihadapannya dan merasa puas ketika laki-laki dapat takluk dibawah tangannya.
Pandangan Rohayah mengenai lelaki dalam Kajian feminisme dapat dikelompokkan sebagai pandangan feminis radikal. Bagi mereka, dasar penindasan perempuan sejak awal adalah dominasi laki-laki, dimana penguasaan fisik perempuan oleh laki-laki dianggap sebagai bentuk dasar penindasan. Dalam patriarki, yakni ideologi yang kelelakian dimana laki-laki dianggap memiliki kekuasaan superior dan privilege ekonomi adalah akar masalah perempuan. Dalam menjelaskan penyebab penindasan perempuan, mereka menggunakan pendekatan ahistoris, dimana patriarki dianggap sebagai masalah universal dan mendahului segala bentuk penindasan.
Selain kilasan isu emansipasi perempuan, Pane juga menyediakan konflik tabu yang ia hadirkan di tengah pembaca yaitu mengenai keluarga dan perselingkuhan yang dibumbui dengan konflik psikologis pada masing-masing tokoh. Karya yang berjudul “Belenggu” itu, memaparkan kehidupan para tokohnya yang masing-masing terbelenggu oleh ke-egoisannya sendiri, sehingga tidak memunculkan sebuah kebahagiaan. Pernikahan pun dikemasnya sebagai masalah yang mengaitkan para tokoh pada opini masyarakat dan konstruksi moral. Paradox yang ia munculkan sudah dapat dilihat dari monolog tokoh yang mempertanyakan kembali arti kesakralan sebuah pernikahan dan kenyataan perselingkuhan. Padahal, pada tiap pernikahan dilontarkan sumpah bahwa setiap pasangan harus hidup rukun demi menciptakan kehidupan yang mawaddah dan warohmah.

Novel Belenggu Karya Armijn pane
Novel Belenggu karya Armijn Pane bukanlah sekedar Roman yang bercerita tentang hubungan percintaan namun juga menceritakan kenyataan moral yang pahit dimana perselingkuhan tidak lagi terhindarkan dalam sebuah rumahtangga dan rumah tangga itu sendiri bukanlah suatu kepastian tujuan malah menjadi pertanyaan bagi roman ini. Armijn Pane juga menyisipkan isu yang sedang berkembang di masanya dalam karya yang berjudul “Belenggu” ini. Novel ini memberikan benturan budaya modern dengan budaya tradisional mengenai fungsi perempuan melalui tokoh-tokoh dalam novel ini.
Paradigma gender mengenai kesetaraan hak antara perempuan dan laki-laki dalam Novel “Belenggu” karya Armijn Pane ini dapat kita lihat dalam kutipan berikut;
“Apa katanya tadi? Tentang perempuan sekarang? Perempuan sekarang hendak sama haknya dengan kaum laki-laki. Apa yang hendak disamakan. Hak perempuan adalah mengurus anak suaminya, mengurus rumah tangga. Permpuan sekarang Cuma meminta hak saja pandai. Kalau suaminya pulang dari kerja, benar dia suka menyambutnya tapi ia lupa mengajak suaminya duduk, biar ditanggalkan sepatunya. Tak tahukah perempuan sekarang, kalau dia bersimpuh di depan suaminya akan menanggalkan sepatunya, bukankah itu tanda kasih, tanda setia? Apa lagi hak perempuan lain dari member hati pada laki-laki?”(Belenggu, Armijn Pane: 16).

Kutipan ini menampakkan keberatan dari kaum laki-laki mengenai paradigma emansipasi perempuan yang menuntut kesamaan hak dengan laki-laki. Dalam konteks budaya patriarkis, kesetaraan hak antara perempuan dan laki-laki memang dianggap sebagai suatu kejanggalan. Sikap tokoh perempuan dalam paradigma emansipasi perempuan terhadap laki-laki juga dimunculkan dalam kutipan berikut;
Tini melompat berdiri sebagai digigit kalajengking: “Bukankah lakiku juga pergi sendirian? Mengapa aku tiada boleh? Apakah bedanya?” ketika nyonya Rusdio hendak menyela, katanya: “Dengarlah dahulu. Ibu membedakan perempuan dan laki-laki. Itulah pokok perbedaan paham kaum ibu dengan kami perempuan sekarang.” (Belenggu, Armijn Pane: 53).

Ketidakberterimaan kaum laki-laki terhadap tuntutan kesamaan hak perempuan dengan laki-laki kemudian memunculkan konflik yang representasikan oleh Armijn Pane dalam kutipan berikut:
Bibir Tini memberengut seolah merasa pahit : “Memang, mengapa pula tidak? (muka nyonya Rusdio tergambar dalam ingatannya) Engkau boleh keluar-keluar mengapa aku tidak? Apa bedanya dengan engkau? Mestikah aku diam-diam duduk menjadi nona penerima telepon? Aku kawin bukan hendak menjadi budak suruhanmu menjaga telepon. Buat apa bujang sebayak itu disini?”
Didalam hati Kartono mulai pedas: “kalau hendak diserahkan kepada bujang saja, baik aku tiada kawin dulu.”(Belenggu, Armijn Pane: 63).

Kutipan diatas menggambarkan bagaimana peliknya ide mengenai kesetaraan hak antara kaum perempuan dengan kaum laki-laki dalam penempatan fungsinya dalam sebuah rumah tangga. Namun, pada masa itu bukan hanya kaum laki-laki yang tidak berterima akan penuntutan hak kesetaraan tersebut. Pada kaum perempuan sendiri muncul keraguan dalam memahami kesetaraan hak dalam sebuah rumah tangga. Keraguan ini dimunculkan oleh Armijn Pane dalam kutipan berikut:
“Yu, Yu, benarkah kita perempuan, baru boleh dikaakan benar-benar cinta, kalau kesenangannya saja kita ingat, kalau kita tiada ingat diri kita, kalau kesukaan kita hanya mmelihara dia? Kalau tiada perasaan demikian benarkah kita belum benar-benar kasih dia? Aku bingung, yu, bukankah kita berhak juga hidup sendiri? Bukankah kita ada juga kemauan? Mestikah kita mematikan kemauan kita itu? Entahlah, yu, aku belum dapat berbuat begitu. ” (Belenggu, Armijn Pane: 71).

Kutipan diatas menggambarkan bahwa pada masa awal kedatangan ide kesetaraan hak atau emansipasi perempuan masih memunculkan polemik dalam kehidupan masyarakat baik dalam perspektif kaum laki-laki yang tidak berterima akan pengurangan hakl istimewa maupun bagi perempuan yang masih terbelenggu oleh tradisi patriarkis yang sudah terlanjur mengakar di masyarakat. Dengan novel ini. Armijn Pane tidak hanya menampilkan roman dan konflik percintaan namun juga perdebatan ide mengenai emansipasi perempuan dalam kungkungan budaya patriarkis di Indonesia sebelum kemerdekaan.

Orasi Jalanan

Misi, maaf menganggu perjalanan sodara-sodara

Koran…koran…

Media Indonesianya, Pikirain Rakyatnya



Aqua..aqua… dingin…dingin…
Indokapenesia … Indokapenesia…panas…panas…



Sayang anak rakyat… sayang anak rakyat…



Jreng-jreng waaakilllll rakyat, seharusnya meeeeerraaaaaakkkyat… woowooo… jreng-jreng



Turunkan harga pokok, tolak kenaikan BBM, Mahasiwa berdemo, mogok makan
Terima kasih para mafia IMF atas rizkinya

Kelabu Diri

Aku terperangkap di mulut anggau

Karena elegi yang kuberi pada keluarga

Semakin terjerembab di perut begu

Sebab takmau mengabdi pada suami

Hingga akhirnya ku terbunuh di semak-semak

Karena tlah anyirkan asa hidup.

(Nezkah)

Jalan Mimpi


Kelakku takkan lukis mimpi dari cahaya matahari

Di sepanjang senja yang penuh arti lagi

Karena lelah dengan berkelana telah kusudahi

Tentang ilmu yang kupelajari

Kan kubagikan ’tuk kawan-kawan jalanan

Agar tak ada lagi kata:

Orang-orang berlalu-lalang ditengah jalan dengan berkeringat baru mendapat makan

Bicara kasih:

Kukan sapa suamiku kala mentari tiba nuju petang hampiri

Hingga takku temukan serpihan kelam di wajahnya.


By:Agnes Mayda

Kesaksian Politik Rendra

oleh: RolvNez

Siapakah W.S Rendra?
W.S. Rendra yang memiliki nama asli Willibrordus Surendra Btoto lahir di Solo, Jawa Tengah, 7 November 1935. Ia mendirikan Bengkel Teater di Yogyakarta pada tahun 1967. Pada perkembangannya Bengkel Teater dipindahkan Rendra di Depok. Rendra memiliki julukan Si Burung Merak karena sebagai penyair Rendra benar-benar seperti burung merak yang tengah mengembangkan bulu-bulu indahnya diatas panggung. Suaranya lantang, intonasinya jelas, gayanya ekspresif dan berjiwa.
Rendra memiliki ciri khusus dalam setiap karyanya, karya-karya Rendra penuh nilai dan moral serta berenergi membangunkan penikmat karyanya dari tidur pulas karena dipeluk materialisme, ketidakpedulian dan pengabaian, sekaligus menegakkan jiwa-jiwa lunglai karena bekapan tirani, penyimpangan dan kesewenang-wenangan.
Rendra memiliki peran penting dan strategis dalam dunia teater dan sastra dan relasinya dengan politik kebudayaan. Rendra memilih menancapkan keberadaannya sebagai sang pemberi kesaksian yang kritis dan berani. Seorang penyair atau sastrawan yang memposisikan diri dengan jelas dalam konstelasi sistem dan relasi-relasi kekuasaan yang melingkupi dunia dan karyanya.
Pada tahun 1970-an, Rendra melakukan perlawanan terhadap sistem politik dengan memakai media kebudayaan, yaitu puisi dan panggung teater. Ia juga pernah melakukan beberapa kegiatan unjuk rasa atau demonstrasi, tetapi tetap dalam konteks kebudayaan. Istilah yang digunakannya pun sangat kultural, “Malam Tirakatan” misalnya. Tujuan aksinya hanya berusaha untuk memberikan kesaksian sebagai bentuk perlawanan dan perjuangannya.


Relevansi karya Mastodon dan Burung Kondor dengan Situasi politik Indonesia
Karya drama Mastodon dan Burung Kondor merupakan salah satu karya kritis Rendra yang kontroversial dimasa Orde Baru. Karya yang berbau protes ini dikeluarkan oleh Rendra pada tahun 1978 dimana konsolidasi antara mahasiswa dengan militer mulai terpecah setelah kerjasama mereka yang harmonis ditahun 1966 dalam penggulingan Soekarno. Masa “bulan madu” ini mulai retak ketika Arief Budiman, dkk, mulai memprotes kebijaksanaan Orde Baru, misalnya dalam kasus pembangunan Taman Mini Indonesia Indah (TMII) tahun 1973.
Gerakan mahasiswa bangkit kembali awal tahun 1974. Ketika mahasiswa memprotes masuknya modal Jepang ke Indonesia. Kunjungan PM Jepang, Tanaka, di boikot dengan melakukan aksi massa besar-besaran di Jakarta. Hal inilah yang mengakibatkan ibu kota lumpuh total. Saat itu gerakan mahasiswa melakukan rally dari kampus UI Salemba menuju kampus Trisakti. Sementara rakyat “asyik” dengan aksinya sendiri, melakukan pembakaran terhadap mobil-mobil produk Jepang. Peristiwa ini yang kemudian terkenal dengan Malapetaka 15 Januari “Malari”.
Setelah empat tahun peristiwa Malari, baru gerakan mahasiswa “bangun” kembali dari masa istirahat. Pada tahun 1978 ini aksi-aksi mahasiswa terjadi di kota-kota besar seperti Jakarta, Bandung, Yogya,dan Surabaya. Aksi-aksi ini menolak pencalonan Soeharto menjadi presiden kembali. Karena aksi-aksi semakin membesar dan mengancam kekuasan Soeharto, maka militer diperintahkan untuk menghentikan aksi-aksi mahasiswa.
Fenomena perlawanan mahasiswa sepanjang 1973-1978 yang diakhiri dengan pembungkaman secara massif oleh rezim militer orde baru berhasil membawa efek politik yang kental terhadap karya Mastodon dan Burung Kondor yang menceritakan perlawanan mahasiswa terhadap rezim militer yang ingin membungkam aksi-aksi revolusioner mahasiswa yang jengah menghadapi kesenjangan ekonomi yang semakin brutal dan kediktatoran militer yang korup.
Karya Mastodon dan Burung Kondor bisa dikatakan sangat relevan dan kontekstual dengan suasana politik di Indonesia sehingga pementasan karya ini di Taman Ismail Marzuki pun harus dilarang oleh rezim yang berkuasa. Karya-karya Rendra yang berbau protes ini membuat Rendra pernah ditahan pemerintah berkuasa.

Heroisme Mahasiswa VS Kediktatoran Militer
Gerakan mahasiswa memiliki mitosnya sendiri dalam wacana pergerakan dimana gerakan ini dianggap memiliki posisi penting sebagai pendobrak perubahan di dalam sebuah sistem politik. Gerakan mahasiswa merupakan fenomena tersendiri dalam politik karena dalam beberapa kasus gerakan kaum muda terpelajar ini mampu menjatuhkan rezim yang berkuasa dan berani dengan lantang mengobarkan perlawanan terhadap sistem politik yang tidak adil sehingga gerakan inipun dianggap sebagai representasi yang paling murni dari gerakan rakyat dalam menuntut perubahan.
Fenomena gerakan mahasiswa sebagai pendobrak kekuasaan tidak hanya terjadi di Indonesia. Sepanjang abad 20, gerakan mahasiswa menemukan ruangnya yang fenomenal di seluruh dunia. Berawal dari perlawanan besar mahasiswa dalam revolusi spanyol di masa kekuasaan fasis Jenderal Franco, kemudian revolusi yang gagal di Perancis di tahun 1968 yang juga dimotori oleh gerakan mahasiswa yang mengadakan pemogokan besar-besaran selama 2 minggu dan berhasil melumpuhkan kegiatan ekonomi Negara tersebut. Amerika juga tidak luput dari fenomena gerakan mahasiswa, gerakan anti kebijakan rasial terhadap ras hispanik dan negro atau lebih dikenal sebagai gerakan “Viva La Raza” yang memakai metode walkout untuk mengawali aksinya disekolah-sekolah juga telah berhasil merubah kebijakan rasial di Negara itu.
Fenomena gerakan mahasiswa adalah fenomena heroisme kaum muda melawan kediktatoran politik. Namun tidak semua perlawanan ini gemilang. Sejarah mencatat bahwa gerkan mahasiswa berkali-kali gagal membawa perubahan dan bahkan terjebak dalam paradoks politik yang menyebabkan kekuasaan terlantar dan berakhir pada bergantinya diktator satu ke diktator yang lain. Seperti halnya di Indonesia, gerakan mahasiswa berhasil menggulingkan diktator sipil Soekarno dan menggantikannya dengan diktator militer Soeharto.
Sepanjang abad 20 juga dunia dihadapkan dengan permasalahan kediktatoran militer yang terjadi di beberapa Negara terutama Negara-negara berkembang. Kediktatoran militer yang membungkan seluruh hak kebebasan sipil dan penyeragaman ideologi ini dinilai sebagai masalah yang menghasilkan ketidakadilan dan penindasan. Fenomena inilah yang mengasilkan peristiwa-peristiwa perlawanan heroik sepanjang abad 20 yang mengilhami karya kritik Rendra.

Karya Mastodon dan Burung Kondor
Karya Mastodon dan Burung Kondor berhasil mengemas gejolak perlawanan mahasiswa melawan ketidakadilan rezim diktator militer dalam drama yang kritis dan imperative. Dalam karya ini, Rendra tidak hanya mengagungkan perlawanan mahasiswa terhadap ketidakadilan rezim. Namun juga mengemas kritik dalam dialognya. Kritik ini tidak hanya ditujukan pada rezim militer yang membungkam kebebasan berpendapat dan korup tapi juga pola gerakan mahasiswa yang selalu terburu-buru, heroik dan seringkali tidak berpijak pada kenyataan.
Karya ini juga berhasil menampilkan paradoks dalam gerakan mahasiswa yaitu intrik politik sesama struktur gerakan mahasiswa. Seperti pada dialog berikut,

Juan Frederico: Tidak kita akan memakai tangan orang lain untuk melemparkan kayu baker ke dalam bara api.
Hernandez : Bagaimana maksudmu?
Juan Frederico:Kita akan desak orang lain untuk melakukan aksi.
Hernandez: Jelasnya kita akan mempergunakan Jose Karosta

Rendra menganalogikan Mastodon sebagai penguasa dan Burung Kondor sebagai rakyat yang memiliki potensi berlawan. Seperti dalam kutipan berikut,

Jose Karosta : Aku memberi kesaksian bahwa naiknya pendapatan nasional tidak berarti naiknya pendapatan rakyat per kapita. Aku memberi kesaksian bahwa dibangunnya pabrik-pabrik untuk kepentingan modal asing tidak berarti mengurangi jumlah pengangguran. Aku telah melihat pabrik semir sepatu dengan modal asing didirikan di Kota San Pedro, hanya tiga puluh orang pribumi……….
Pemerintah telah bersungguh-sungguh membiba tenaga tidak untuk mobilitas,tetapi untuk kekukuhan, tidak untuk dinamis, tetapi untuk teguh dan angker, tidak untuk menciptakan semut-semut yang bekerja tetapi barisan gajah yang suka serba mempertahankan. Saya memberikan kesaksian akan adanya satu kekhawatiran bahwa gajah-gajah akan beranak pinak. Sehingga dalam tempo singkat seluruh padang belantara, diseluruh hutan rimba, di lembah-lembah dan bahkan di lorong kota akan di penuhi oleh gajah-gajah yang lalu menjadi mastodon-mastodon dengan gerak-gerak kaki yang terlalu berat dengan tubuh-tubuh yang terlalu tegak dengan gading-gading yang perkasa dan memusnahkan alam secara lahap.
Dan pada dialog berikutnya,
Gloria Del Bianco : Jose,kamu belum menuliskan dongeng dan kisah percintaan itu bukan? Kamu belum sempat menuliskannya dewasa ini kamu seerti mereka. Kamu menjadi burung kondor. Bedanya cuma ini. Mereka tidak menyadari keadaan mereka sedang kamu menyadari keadaanmu.
Jose Karosta : Burung kondor yang sadar, iya?

Tokoh utama pada karya drama ini yaitu Jose Karosta ditampilkan oleh Rendra sebagai tokoh heroik yang tak kenal menyerah menyuarakan penderitaan rakyat dan menyadarkan rakyat atas penindasan yang terjadi. Tokoh Jose Karosta memiliki kesamaan karakter dengan tokoh Jesus atau Don Quixotte dalam cerita rakyat Spanyol.

Perlawanan Sutardji Calzoum Bachri Terhadap Modernisme

Oleh: Agnes Mayda Indraswari


Karya Sutardji Calzoum Bachri tak mudah untuk dibaca juga dipahami. Tidak seperti karya puisi pada umumnya, karya-karya Sutardji Calzoum Bachri menuntut pembacanya untuk memahami, menggali makna bebas yang dikandungnya hingga pembaca dapat memberikan makna sendiri sesuai kemampuan pembaca. Tautan kata dan ragam tutur yang Sutardji Calzoum Bachri berikan dalam tiap karyanya mampu memberikan ekstase perlawanan estetik dan metafisik dari sebuah puisi. Ia memberikan kembali kekuasaan bagi kata untuk menjadi kata tanpa harus terbelenggu moral kata, pesan, dan segala kekangan gramatikal melalui ragam tutur serupa mantra kebebasannya memainkan kata.

Karya Sutardji Calzoum Bachri dalam kumpulan tiga sajak O, Amuk, Kapak yang merupakan kumpulan puisi karyanya sepanjang 1966-1977 merupakan manifestasi dari keunikan pandangan dunia Sutardji Calzoum Bachri yang dapat dilihat melalui berbagai sisi dari falsafah hingga kesusasteraan. Karya inilah yang juga menjadi manifestasi dari pandangannya yang membebaskan kata untuk kembali menjadi kata.

Karya O, Amuk, Kapak mampu menghebohkan dan memancing pro-kontra dikalangan publik sastra. Karya ini mematahkan tabu penggunaan kata dan pemberian makna yang dilakukan oleh puisi. Donny Gahral Adian, dengan latar belakang filsafatnya memandang puisi-puisi Sutardji Calzoum Bachri bukan hanya sekedar puisi namun sebagai ”Esai filsafat tentang bahasa, khususnya kata”. Lebih dari itu, karya O, Amuk, Kapak juga seperti sebuah memoar perjalanan Sutardji Calzoum Bachri dalam mencari keberadaan eksistensi diluar eksistensinya melalui tiap gagasannya yang bergelombang sulit ditebak dan penuh kejutan. Usaha transedental dan mistis Sutardji Calzoum Bachri dapat ditemukan dalam puisinya yang berjudul ”Hyang, Mantra, Q, Amuk, dan Walau”. Memahami karya O, Amuk, Kapak Sutardji Calzoum Bachri sebagai usaha transedensi seorang penyair dapat merekam tiap langkah yang Ia jalani yaitu mantra, semangat nihilisme yang serupa dengan Nietzsche, kemudian unsur sufisme yang kental. Ketiga langkah inilah yang membentuk kesan bagi karya Sutardji Calzoum Bachri pada O, Amuk, Kapak.

Sutardji Calzoum Bachri dilahirkan di Rengat, Riau, 24 Juni 1941. Ia mulai menulis dalam surat kabar dan mingguan di Bandung ketika Ia masih berkuliah di Jurusan Administrasi Negara, Universitas Padjadjaran. Kemudian sajak-sajaknya dimuat dalam majalah sastra Horison dan Budaya Jaya serta ruang kebudayaan Sinar Harapan dan Berita Buana. Sekembalinya dari Amerika serikat Ia hijrah dari Bandung ke Jakarta. Lalu dia menjadi salah seorang redaktur majalah sastra Horison. Sutardji Calzoum Bachri tidak hanya menulis puisi, Ia juga menulis esai dan cerpen. Kumpulan cerpennya yang sudah diterbitkan adalah Hujan Menulis Ayam pada tahun 2001.

Perlawanan terhadap peradaban rasionalisme, positivisme dan modernisme dilakukan oleh Sutardji melalui kredo puisinya yang memandang bahwa kata bukanlah alat untuk menghantarkan pengertian melainkan pengertian itu sendiri. Ia juga membebaskan kata dari belenggu pemaknaan, tabu moral kata dan gramatika yang membatasi kata sebagai alat pengantar pesan.

Pemahaman ini dibuktikan oleh Sutardji melalui karyanya yang menggunakan ragam tutur serupa mantra. Mantra adalah ragam tutur yang digolongkan sebagai puisi bebas paling tua didunia sebab Ia tidak terikat pada aturan ketat seperti pada pantun, gurindam, atau syair. Mantra juga bisa disebut sebagai bahasa berirama. Mantra tidak menekankan pada makna, tetapi pengaruh magis dari kata-katanya yang membangkitkan asosiasi tertentu. Mantra sepenuhnya tidak rasional, tetapi sebagai ragam tutur estetik mantra memiliki maknanya sendiri.

Dalam antologi O bahasa mantra dapat ditemukan dalam sajak ”Mantra”;

Lima percik mawar

Tujuh sayap merpati

Sesayat langit perih

Dicabik puncak gunung

Sebelas duri sepi

Dalam dupa rupa

Tiga menyan luka

Mengasapi duka

Puah!

Kau jadi Kau!

Kasihku!

Dengan kembali ke mantra, Sutardji ingin kembali kepada semangat pawang ketika manusia belum dipengaruhi oleh paham falsafah keilmuan seperti rasionalisme, intelektualisme, materialisme, darwinisme, dan lain-lain. Sutardji ingin membalikkan pemahaman kaku yang berasal dari kekangan aturan yang membuat kata hanya menjadi pengantar pesan dan melawan bentuk bentuk baku dari sebuah apresiasi.

Sutardji Calzoum Bachri melalui keberaniannya melawan pakem aturan sastra menjadikan dirinya dan karyanya sebagai sebuah icon perlawanan sastra melalui nada pesimistik dan nihilistik dalam sajak-sajaknya. Sutardji yang membebaskan kata dari belenggu aturan dan makna telah memasukkan unsur posmodernisme yang mendobrak pakem materialisme dan positivisme khas peradaban modernisme bahkan jauh sebelum publik sastra mulai memperdebatkan pentingnya relevansi postmodernisme dalam karya sastra.

Namun kekuatan perlawanan Sutardji bukanlah berasal dari ide adopsi dari falsafah barat melainkan berasal dari usahanya mengembalikan kata menjadi kata itu sendiri. Kekuatan perlawanan Sutardji menemukan pijakannya pada ragam tutur mantra yang telah dimiliki oleh peradaban nusantara jauh sebelum Nietzsche menghembuskan nihilisme dan posmodernisme kedalam peradaban barat.

Keberanian Sutardji untuk melepaskan diri dari kekangan orientasi rasionalisme dan materialisme membuatnya mampu mengeksplorasi pengalaman religius, spiritual dan transedental yang Ia apresiasikan melalui karya-karyanya.

Senin, 07 Juni 2010

Pertanyaan dari Seorang Kuli yang Membaca

Bertold Brecht

Siapa yang membangun Thebes berpintu Tujuh?
dalam buku kau akan menemukan nama Raja-raja.
Apakah para Raja yang menyeret bongkahan batu?
Dan Babylon yang berkali-kali dihancurkan siapa yang berkali-kali membangunnya kembali? apakah oleh para kuli hidup di dalam rumah yang bergemilang emas Lima?
Di malam ketika Tembok Cina dirampungkan Apakah para pengukir batu itu pergi?
Roma yang Agung dipenuhi dengan lengkumgan megah. siapa yang mendirikannya? apakah melebihi kejayaan Caesar? apakah Byzantium, banyak memuji dalam lagu hanyalah istana untuk kaumnya? Bahkan dalam dongeng Atlantis
Di malam ketika lautan menelannya
banjir itu masih meraung untuk budak mereka

Alexander muda menaklukkan India. Apakah ia sendiri?
Caesar mengalahkan Caul. Apakah ia tidak memasak dengannya?

Philip dari Spanyol menangis ketika armadanya jatuh. Apakah haya da yang menangis?
Frederick kedua memenangkan perang tujuh tahun. Siapa lagi yang menang?

Setiap halaman dari sebuah kemenangan.
Siapa yang memasak bagi pesta kemenangan Sang Pemenang?
Pria hebat yang muncul Setiap sepuluh tahun?
Siapa yang membayar tagihannya?

Begitu banyak berita.
Begitu banyak pertanyaan.

diterjemahkan oleh
Roliv S
diedit oleh
Ted Sprague

Jika Hiu adalah Manusia

bertold brecht

Tuan K ditanya oleh anak perempuan majikannya, "jika hiu adalah manusia, apakah ia akan baik kepada ikan kecil?"

"Tentu saja," jawabnya. "jika hiu adalah manusia, mereka akan membuat kotak besar di laut untuk ikan kecil, dengan bermacam-macam makanan di dalamnya, sayuran dan binatang. mereka akan memastikan kotak itu selalu berisi air segar, mereka akan membuat sanitasi. contohnya, jika ikan kecil terluka siripnya,akan segera diobati sehingga mereka tidak akan mati atau hilang sebelum waktunya.Jadi ikan-ikan kecil itu tidak akan murung, di tempat itu akan ada festifal air yang besar dari waktu ke waktu; karena ikan yang bahagia lebih enak daripada ikan yang murung."

"Tentunya mereka juga akan disekolahkan di kotak besar itu. di sekolah ini ikan kecil akan belajar bagaimana cara berenang ke rahang hiu. mereka harus mengetahui geografi supaya mereka dapat menemukan hiu besar yang terbaring malas di suatu tempat. subjek utamanya tentu pendidikan moral bagi ikan-ikan kecil. meraka akan diajarkan bahwa mereka akan menjadi yang terbaik dan hal yang paling indah di dunia adalah jika mereka berkorban dengan bahagia dan karenanya meraka harus mempercayai para hiu, terutama ketika meraka berkata bahwa mereka akan menyediakan masa depan yang indah. ikan ikan kecil akan diajarkan bahwa masa depan ini hanya bisa meraka dapat jika mereka belajar kepatuhan. ikan-ikan kecil harus waspada kepada semua dasar, materialis, egoistis, aliran marxist, dan jika salah satu dari mereka melanggar maka mereka akan segera dilaporkan ke hiu."

"jika hiu juga manusia, maka mereka juga akan salaing berperang satu sama lain untuk menguasai kotak ikan lain dan ikan-ikan kecil lainnya. mereka akan mengajarkan ikan kecil bahwa terdapat perbedaan besar antara mereka dengan ikan-ikan kecil yang dimiliki oleh hiu lain. para ikan kecil ini diberitahukan bahwa ikan-ikan kecil itu bisa disebut bisu, mereka diam dalam bahasa yang berebeda sehingga mereka tidak dapat mengerti satu sama lain. setiap ikan kecil yang dapat membunuh beberapa ikan kecil lawan, diam dalam bahasanya sendiri, akan dihadiahi medali kecil yang terbuat dari rumput laut dan diberi gelar pahlawan."

"Jika hiu adalah manusia, tentunya akan ada seni, akan ada gambar yang indah, imanab gigi hiu akan digambarkan dengan warna yang indah dan rahangnya menjadi taman yang indah, yang mana disana mereka dapat mengejar kebaikan. Teater di bawah laut akan menampilkan ikan kecil yang heroik berenang kedalam rahang hiu dengan antusias, dan musik pun sangat indah mengiringinya, orkestra akan memandunya, ikan-ikan kecil akan bermimpi mengalir ke rahang hiu, tertidur dengan khayalan yang paling menyenangkan."

"Agama juga akan ada jika hiu adalah manusia. Agama ini akan mengajarkan bahwa ikan kecil hanya akan memulai hidup sesungguhnya di dalam perut hiu"
"selain itu, jik hiu adalah manusiaikan kecil tidak akan lagi setara seperti sekarang. beberapa darnya akan di berikan kantor penting dan ditempatkan diatas ikan kecil lain. mereka yang sedikit lebih besar akan diperbolehkan untuk memakan yang lebih kecil. Hal itu akan menjadi kesdepakatan bersama bagi para hiu, dengan begitu meraka akan mendapatkan makanan yang lebih besar. Ikan kecil yang lebih besar dari ikan kecil lain akan menempati pos-pos mereka, akan memastikan kewajiban ikan kecil, menjadi guru, menjadi pekerja kantoran, insinyur dalam konstrukdi kotak ikan, dll."

"singkatnya, laut akan mulai menjadi berperadaban jika hiu adalah manusia."

diterjemahkan oleh
Roliv S
diedit oleh
Ted Sprague

Obrolan Sendja I

Senja terlihat mulai memerah di balkon kamarku saat seorang kawan datang sambil membawa sepoci teh. dendangan sanggar satu bumi mengalun pelan dari kamarku saat aku menuangkan teh untuk kami.
kawanku bertanya padaku, apa bedanya konsep islam dengan konsep sosialisme?

bukannya kita sudah terlalu sering membicarakan ini? tanyaku kembali.
aku tidak begitu tahu banyak mengenai perbedaannya, jawabku.
namun, mari kita lihat dulu persamaannya sebelum mengungkap perbedaannya.

sambil meminum tehnya kawanku berkata. yah memang sudah pernah kita bahas sampai pada hipotesa religius dan non religius, tapi itu sudah berapa tahun berselang, mungkin sekarang kita bisa mendapatkan jawaban yang lebih lengkap. lagipula apa persamaannya?

akupun tersenyum mendengar pernyataan kawanku yang satu ini, rupanya ia masih mengingat diskusi kami di penghujung tahun 2005 lalu mengenai islam dan sosialisme. namun tampaknya memang masih kurang mendapatkan jawaban yang memuaskan pada waktu itu, maklum waktu luang kami untuk membaca sangat terbatas.

baiklah, aku akan coba jelaskan. jawabku.
hehehe... tapi jangan anggap terlalu serius sanggah saja bila ada yang kurang terhubung logikanya...

sip,.. bagaimana penjelasanmu? tanya kawanku dengan semangat.

oke.. persamaan yang kulihat dari Islam dan Sosialisme adalah keduanya sama-sama mengidap penyakit Messianic dan Orakular. jelasku.

hah Messianic? messianic darimana? kalo Islam sih jelas ada konsep Messianic soal Imam mahdi,. Nah Sosialisme Imam Mahdinya siapa?... hahaha... sergah kawanku.

yah messianic,. tapi kita harus membatasi pada dua terminologi messias dulu bahwa messias iu diartikan sebagai Individu dan messias yang diartikan sebagai seperangkat sistem. satu lagi orakular yang kumaksud disini adalah keduanya meramalkan keadaan di masa depan.
kita tidak akan membahas detail mengenai hukum2 internal yang mengatur relasi antar komponen sistem dalam Islam dan Sosialisme ya... kita batasi pembahasan dari asumsi mengenai konsep messianic dan orakularnya saja... oke? jawabku.

oke..oke.. lanjut...aku jadi penasaran. jawabnya.

sip,.. konsep messianic yang aku ambil disini adalah messianic yang mengartikan messias sebagai sebuah sistem yang akan muncul dan menjadi jawaban mutlak bagi semua permasalahan yang muncul hari ini.
bisa kita ambil Sampel sebuah organisasi islam yang menganut sistem ini yaitu hizbut tahrir (HT) dan satu sampel dari organisasi sosialis yang bisa disebut menganut juga sistem ini meskipun mereka akan menolak habis2an kalo disebut messianic yaitu gologan International IV (IL IV) dan segala variannya.
dimana letak persamaannya? kita akan lacak satu persatu.
1. HT percaya bahwa sistem yang dapat menjawab semua permasalahan dunia adalah sistem Kekhalifahan yang mendasarkan hukumnya pada al-Quran dan al Hadits, IL IV juga percaya bahwa sistem yang dapat menjawab semua permasalahan penindasan yang terjadi di dunia adalah dengan Sosialisme yang dipimpin ole kaum proletariat.
2. HT percaya bahwa Islam adalah agama yang palig benar dan determinis terhadap semua agama karena islam adalah agama akhir zaman yang harus dianut oleh seluruh manusia, IL IV juaga percaya bahwa sosialisme adalah ideologi yang paling benar dan hanya sosialisme lah yang akan membebaskan manusia dari penindasan sistem kapitalisme.
3. HT percaya bahwa kaum muslim berhadap-hadapan dengan kaum sekular yang terus menerus mereduksi dan memerangi kaum muslim sehingga memerangi sekularisme adalah tindakan yang haq (dalam bentuk apapun perlawanannya), IL IV juga percaya bahwa kaum proletar berhadap-hadapan dengan kaum borjuasi yang pasti menindas mereka dan terus-menerus mengeksploitasi mereka selama meraka tidak melakukan perlawanan.
4. HT percaya bahwa terbentuknya sistem Khilafah dan kemenangan Islam adalah satu kepastian, IL IV percaya bahwa terbentuknya sistem sosialisme dan kemenangan persatuan kelas pekerja adalah takdir historis.
5. HT Internasionalis, IL IV Internasionalis.
persamaan lain akan kita temukan lagi dalam mitologi berikutnya bahwa islam terbagi menjadi 72 aliran dan hanya satu yang benar, dalam pamphlet spartakist yang beredar di indonesia mengenai IL IV juga menjelaskan bahwa sosialisme telah terpecah2 menjadi banyak aliran dan hanya IL IV lah yang merupakan aliran yang murni karena percaya pada takdir historis kaum proletariat, revolusi dan internasionalisme.
yang mau aku jelaskan disini sebenernya bahwa islam dan sosialisme sekilas telah memakai mitologi yang hampir sama... hehehehe... bagaimana menurutmu?

hahaha.... iya juga yah? sekilas argumenmu seakan-akan benar juga.. umm jadi bingung juga lantas klaim keilmiahan sosialisme ada dimana? .sambung temanku.

yah soal itu kita bahas lain kali aja, kau pikirkan dulu apakah ada kesalahan berpikir dalam logika argumenku tadi,. jawabku sambil menyalakan sebatang rokok.

hehehe... dulu aku pernah bilang kalo dalam hal ini semakin kita mencari persamaan kita akan menemukan perbedaan, begitupun sebaliknya.. sambung temanku mengakhiri obrolan.

langit sudah mulai menghitam di balkon kamarku, terdengar suara adzan meraung-raung mengajak kaum muslim untuk menunaikan ibadahnya, kami pun kembali ke kamar kami masing-masing.

Obrolan Sendja II

Hujan mulai mereda senja ini, genangan airnya masih tertinggal di balkon kamarku.ahhh pekerjaan baru sudah menunggu, ngepel balkon. dinginnya udara sejuk setelah hujan ngebuat aku malas ngepel balkon, satu-satunya hal yang terlintas di pikiranku cuma segelas kopi jahe panas.
sayang jahe tidak pernah tersedia di dapur...

kali ini aku menyerah untuk hanya menyeduh kopi dan masuk ke kamar kawanku di lantai bwah yang lembab dan kadang kau tidak dapat membedakan kapan siang berakhir kapan sore tiba tanpa peringatan lampu listrik dari ruang tengah.

kutemui kawanku yang sedang serius di depan komputernya sesekali terlontar makian dari mulutnya entah itu anjing! entah itu goblog! maklum terbawa emosi maen red alert. setelah legukan kedua kopi di tanganku kusapa ia dengan pertanyaan. jadi gimana men? sudah ketemu jawabannya yang kemaren?. soal apa? sambungnya.

klaim keilmiahan sosialisme? jawabku.
hehehe... lupa men lagipula ga kepikiran serumit itu jadinya... jawabnya ringan.

tapi bolehlah kita diskusikan lagi aku juga masih penasaran,.. sambungnya sambil menyudahi permainan komputernya.
oke bisa kita lanjutin,.. oia sosialisme ilmiah dalam hal ini kita batasi dalam marxisme ya... oke kemarin apa saja poinnya? jawabku menyetujui.

ummm... biar aku ingat2 dulu... oh ya pertama adalah konsep messianic, tadir historis dan terakhir klaim keilmiahan sosialisme. kali ini bisa disebut sebagai pembeda ya? sambung temanku.

oke... kau yang ambil konklusinya, aku hanya menjelaskan saja,..

persamaan dan kemiripan yang aku ambil di diskusi kemarin itu persamaan yang terjadi pada fenomena praktis organisasi dan sebenarnya terlalau reduksionis karena tidak mendetail... yah mirip-mirip cara eksplanasi harun yahya soal teori konspirasi yahudi lahh... hehehehehe...
maaf ya...

Siall!!!.... kenapa ga kepikiran ya waktu itu.. sergah kawanku.

gimana bisa kepikiran? pikiran lu kan perempuan mulu bro... hahahaha...

Sapi !

hahahahaha!

oke-oke lanjut...

sip...
tidak bisa dipungkiri memang ada beberapa varian dari marxisme yang memperlakukan marxisme sebagai agama eksatologis bahkan di eropa timur pernah muncul sekte yang menganggap marx sebagai nabi dan komunisme adalah kerajaan tuhan di dunia..

Nahhh..

eits.... ntar dulu men,.. semua ini sebenernya tidak terhubung dengan konsep marxisme ataupun sosialisme ilmiah... bisa kita lanjut?

oke lanjut...

biar adil kita harus mencerabut marxisme dari segala macam mitos yang mengikutunya dan menempatkannya kembali pada konteks historisnya. marxisme adalah serangkaian kritik terhadapa kapitalisme dan sebagaimana kapitalisme, marxisme juga menyertakan berbagai aspek di dalamnya termasuk ekonomi, politik, sistem pemerintahan, perilaku manusia, pandangan hidup, filsafat, budaya dan nilai nilai normatif sebagai kritik dari kapitalisme.
keilmiahan sosialisme sebenarnya bukan sekedar klaim maka dari itu marxisme dapat dibedakan dengan doktrin agama yang tiak debatable dan cenderung saklek tanpa perdebatan terutama pada soalan ketuhanan.
mengapa marxisme tidak menyertakan tuhan di dalamnya? ya jelas saja marxisme kan bukan agama,.. semua teori sosial mengekstraksi agama di dalamnya? hehehehe...
konsep messianic dalam marxisme sebenarnya hanya kutipan dari tudingan kaum anti marxis yang mencoba mereduksi marxisme dalam tulisan-tulisannya di reviews of austrian economics yang sebenarnya marx tidak menuliskan apapun yang mengidentifikasikan konsep messianic dalam tiap karyanya.

hmmm... berarti persamaan dana kemiripan marxisme dengan islam itu sebenernya gak ada dong? sanggah kawanku.

memang tidak ada,.. kalupu ada itu sangat tipis dan cenderung dipaksakan, Islam kan tidak menolak akumulasi kapital? tapi sebelum itu bisa kita lanjut ke point berikutnya?

oke... mengenai takdir historis ya?.. sambung kawanku.

yup... mengenai takdir historis ini pertama kali dibumikan oleh lenin dalam artikelnya di Pravda (1913), artikel ini hanya menjelaskan bahwa kritik marx pada 3 periode selalu tepat dan dengan ketepatannya inilah makin menempatkan marxisme sebagai doktrin bagi kaum proletariat dan menjelaskan peran penting kaum proletariat pada setiap fenomena perubahan sosial. namun seperti yang kita lihat bahwa ada beberapa ramalan marx yang tidak meleset seperti mengenai overproduksi yang akan menciptakan krisis bagi kapitalisme... asumsi ini tepat,. bahkan nyaris tidak terbantahkan sekalipun oleh para ekonom.
namun, tidak seperti pada obrolan sebelumnya dimana aku dengan singkat menyebutnya sebagai oracle... asumsi marx mengenai overproduksi tidak didasarkan oleh ramalan, wahyu apalagi wangsit... hahahahaha...
overproduksi yang digumamkan marx merupakan hasil dari kontradiksi internal dalam kapitalisme itu sendiri dan hal ini bukanlah ramalan, sebagai seorang scientist tentunya marx bukanlah orang bodoh yang menggunakan ramalan tanpa dasar...

lantas darimana??? tanya kawanku.
marxisme itu kan bukan agama men yang berselimut tabu,.. asumsi over produksi berasal dari verifikasi dan falsifikasi marx tentang fakta dan data kapitalisme dan gerak dari kapitalisme itu sendiri sehingga kemudian menghasilkan probabilitas bagi kelanjutan sistem ini,.. sistem kapitalisme maksudku...

ooooo..... lantas kalo begitu ilmiah dong marxisme? tanya kawanku dengan wajah kebingungan.

yah selama masih bisa diperdebatkan secara terbuka, bisa diuji, di verifikasi dan di falsisfikasi menurutku masih ilmiah...

hmmm... iya juga sihh...

heheheheheh.... udah.. udah beli rokok sana stock abis nih...

ide bagus... pusing juga aku mikirinnya... hehehehe...

kawanku pun bergegas menuju ke warung rokok di seberang jalan dan menyudahi obrolan kami senja ini.

Monolog Sendja

Roliv

Apa itu prinsip?
keteguhan, keyakinan, konsistensi tindakan pikiran dan perkataan, pemahaman menyeluruh akan sebuah jalan dalam katastropik bernama kehidupan.

Darimana Prinsip kudapat?
Proses kehidupan, memahami menyeluruh setiap detail hidup, menilai kembali setiap adegan dalam proses hidup, menghargai setiap proses yang dilalui dalam katastropinya. menentukan sebuah tujuan melandaskan diri dari pemahaman menyeluruh akan proses yang telah dan akan terjadi.

Baik atau buruk kah sebuah prinsipku?
sebuah prinsip terlepas dari dikotomi kebaikan dan keburukan.

Apakah Memiliki prinsip akan membuatku bahagia?
tidak, bukan karena prinsip itu sendiri tapi karena bahagia itu adalah ekstase dari proses yang berkesinambungan sehingga bahagia bukanlah tujuan tetapi proses itu sendiri.

Apakah aku sudah memiliki Prinsip?
...

Mengekstrak Cinta dari Kaum Frommian

Roliv

Cinta bukan terutama “disebabkan” oleh obyek tertentu, melainkan suatu kualitas yang tetap hidup dalam pribadi yang hanya di aktualisasikan pada objek tertentu.
Kebencian adalah dorongan nafsu kepada perusakan sedangkan cinta adalah dorongan bagi penguatan suatu “obyek”.
Cinta bukan suatu akibat melainkan usaha aktif dan keterkaitan batin, yang tujuannya adalah kebahagiaan, pertumbuhan dan kebebasan bagi obyeknya.

Gagasan cinta romantis yang telah disebutkan, bahwa hanya ada satu orang di dunia yang dapat mencinta, bahwa itu kesempatan besar kehidupan seseorang untuk menemukan seseorang dan cinta itu baginya mengakibatkan penarikan diri dari semua orang lain. Jenis cinta yang hanya dapat dialami dalam hubungannya dengan satu orang seperti yang ditujukan oleh kenyataan sekarang, itu bukanlah cinta, melainkan sebuah kasih sayang sado-masokis.

Ketergantungan masokistis dipahami sebagai cinta akan kesetiaan, perasaan rendah diri dipahami sebagai ungkapan yang pas dari kekurangannya yang nyata dan kesengsaraan sebagai keharusan sepenuhnya terhadap keadaan-keadaan yang tidak dapat diubah.
Sikap memengorbankan diri sepenuhnya bagi orang lain menghancurkan hak-haknya dan tuntutan-tuntutannya untuk memuji orang lain sebagai contoh dari “cinta yang agung”. Nampaknya, tidak ada bukti yang lebih baik dari cinta selain pengorbanan diri dan keikhlasan untuk menghilangkan dirinya demi orang yang dicintai. Sebenarnya dalam kasus ini, cinta pada dasarnya adalah kerinduan masokistis dan berakar dalam kebutuhan simbiosis tersebut.

Cinta didasarkan atas persamaan dan kebebasan. Jika itu didasarkan pada subordinasi dan menghilangkan integritas pasangannya, yang demikian adalah ketergantungan masokistis tak peduli bagaimana hubungan itu dirasionalisasikan. Sadisme juga sering menyamar sebagai cinta.

Diri saya sendiri pada dasarnya adalah obyek cinta saya seperti diri orang lain. Penguatan terhadap kehidupan, kebahagiaan dan kebebasan saya sendiri mengakar dalam hadirnya kerelaan, dasar bagi dan kemampuan untuk penguatan tersebut, jika individu memiliki kerelaan ini ia juga mempunyai kerelaan untuk dirinya sendiri jika ia mencintai orang lain ia tidak dapat mencintai sama sekali.

Mengenal Analisa Kelas

Kamis, 2008 Juli 17
Mengenal Analisa Kelas
*Roliv

1. Pengantar

Bagaimana kelas-kelas sosial itu muncul di masyarakat?. Pertanyaan ini merupakan pertanyaan mendasar yang harus kita jawab dalam diskursus kita mengenai kelas sosial. Pertanyaan ini dapat di stimulus oleh pertanyaan yang mendasar, bagaimana manusia memenuhi kebutuhannya? Tentu saja jawaban yang wajar untuk pertanyaan ini adalah dengan kerja.

Kerja adalah proses produksi manusia dalam usaha pemenuhan kebutuhannya untuk mempertahankan hidup dengan menghasilkan komoditas (barang-barang) pemenuh kebutuhannya. Peoses pemenuhan kebutuhan ini mensyaratkan manusia untuk berinteraksi dengan alam sebagai bahan

baku

pemenuhan kebutuhannya, dalam proses pemenuhan kebutuhan inilah manusia kemudian menciptakan alat kerja untuk mempermudah proses produksinya.
Dalam sejarah perkembangan masyarakat pernah dikenal peradaban masyarakat tanpa kelas. Masyarakat tanpa kelas ini memiliki cirri bahwa produksinya dalam pemenuhan kebutuhan mengikuti kebutuhan seperlunya tanpa surplus melalui pengumpulan komunal dan distribusi komunal secara merata. Corak ini muncul pada awal peradaban manusia dimana corak produksinya masih mengandalkan interaksi langsung dengan alam seperti berburu dan meramu. Corak produksi ini bertahan selama ribuan tahun sampai akhirnya manusia menemukan teknologi pertanian dan munculnya kepemilikan pribadi.

Sisa-sisa dari corak masyarakat tanpa kelas masih dapat dilihat di beberapa daerah di dunia, seperti ; masyarakat Indian di pedalamn amazon atau yang lebih dekat adalah masyarakat pedalaman di papua. Kehancuran masyarakat tanpa kelas ini selain disebabkan oleh pergantian corak produksi juga dikemukakan oleh beberapa ahli bahwa terdapat juga factor perubahan lingkungan dimana manusia dalam corak masyarakat tanpa kelas di masa itu masih bergantung terhadap iklim sehingga kegiatan meramu dan berburu sangat bergantung pada kondusifitas alam sebagai penentu produksi pemenuhan kebutuhan.

Seiring dengan berkembangnya teknologi alat kerja ini, manusia dapat mempercepat proses produksi dan menambah jumlah hasil produksi sehingga dapat melebihi target pemenuhan konsumsinya. Di sisi lain perkembangan teknologi ini juga meningkatkan ketergantungan manusia kepada alat produksinya. Ketergantungan manusia pada alat inilah yang kemudian menjadi landasan dari sistem produksi manusia. Karena sistem produksi manusia tergantung pada alat maka siapa yang menguasai alat akan menguasai seluruh kehidupan manusia.

Corak masyarakat berkelas sangat erat kaitannya dengan penemuan teknologi pertanian yang lebih efektif dalam percepatan proses produksi dan pertambahan surplus produksi. Sejarah menunjukkan bahwa struktur masyarakat berkelas tidak datang dengan sendirinya melainkan melalui proses tahapan yang cepat dalam pemindahan bentuk kepemilikan dan transformasi sistem sosial.

Setidaknya, terdapat tiga penyebab yang saling berkaitan dalam proses pembentukan masyarakat berkelas, yaitu ; produksi yang melebihi target pemenuhan konsumsi (surplus) hal ini disebabkan oleh perkembangan teknologi alat produksi dan kemampuan produksi. Surplus ini telah memungkinkan terjadinya akumulasi terhadap hasil produksi dan kepemilikan indiviu atas hasil lebih itu merupakan kewajaran karena dalam pertanian hasil produksi yang lebih banyak dan konstan daripada berburu namun tidak dapat memberikan hasil yang berulang-ulang oleh karena itu hasil pertanian perlu disimpan.

Fortifikasi, yaitu adalah pembangunan benteng-benteng yang digunakan untuk melindungi surplus. Hal ini dilakukan sebagai upaya perlindungan hasil produksi dari pencurian dan perampasan dari kelompok masyarakat lain yang belum maju corak produksinya (masyarakat berburu). Fortifikasi juga memacu kemunculan sistem pertahanan teritori dan kehlian berperang melawan ancaman perampasan dari masyarakat di luar komunitasnya dalam bentuk perang. Hal inilah yang kemudian memacu terbentuknya satuan-satuan militer.

Hal lain yang tidak kalah pentingnya dalam pembentukan masyarkat berkelas adalah berkembangnya pengetahuan yang efektif untuk mendukung akumulasi pertanian. astrologi dan navigasi. Kemunculan astrologi ini merupakan bagian penting dalam sejarah karena inilah awal mulanya manusia meramalkan keadaan alam melalui perhitungan musim. Perhitungan astrologi ini sangat dibutuhkan oleh masyarakat yang menetap (inmaden) karena corak pertaniannya mensyaratkan pengelolaan tetap terhadap lahan. Pengetahuan ini tidak dibutuhkan oleh masyarakat berburu (nomaden) karena corak pemenuhan kebutuhan mereka masih melakukan akumulasi minimal dalam komunal dan tidak membutuhkan ketetapan lahan. Tentu saja perkembangan ilmu ini bukan mengrah pada astronomi yang ilmiah, Penjelasan – penjelasan mengenai gejala – gejala alam yang muncul lebih banyak mengandung mistik dan membutuhkan upacara-upacara simbolik sehingga hanya dimonopoli oleh beberapa orang yang dianggap bijak dan memiliki kemampuan supranatural.

Sistem masyarakat pertanian ini juga merupakan sistem masyarakat yang menetap sehingga membutuhkan pengaturan identitas kewenangan anggota di dalamnya dalam pembagian kerja dan pembagian hasil produksi. Hal ini kemudian yang memunculkan kebutuhan akan consensus-konsensus populasi dan sekelompok msyarakat yang bekerja untuk memastikan pengaturan itu berjalan.

Kebutuhan akan pengaturan inilah kemudin yang membagi masyarakat dalam sistem keluarga yang dilandaskan oleh hubungan kelahiran untuk memudahkan pembagian hasil produksi. Hal ini juga kemudian yang mewajarkan kepemilikan pribadi atas alat produksi dan hasil lebih produksi.

Sejarah manusia bergerak ketika alat produksi telah menghasilkan cukup banyak hasil sehingga berlebih kalau sekedar untuk memenuhi kebutuhan hidupnya sendiri. Alat produksi yang telah cukup maju untuk memproduksi hasil lebih ini kemudian menjadi sasaran perebutan antar berbagai kelompok. Kelompok-kelompok yang berhasil menguasai alat produksi ini kemudian memaksa mereka yang tidak memiliki alat produksi untuk bekerja, tidak untuk diri mereka sendiri, melainkan bagi mereka yang memiliki alat produksi itu. Dari pergerakan sejarah inilah lahir kelas-kelas dalam masyarakat. Di sisi lain, distribusi (pembagian) hasil produksi dan pola hubungan produksi secara teknis juga membutuhkan cara pengaturan yang efektif. Cara pengaturan ini kemudian memastikan pembagian hasil ke seluruh anggota masyarakat dan pada akhirnya membentuk kesepakatan-kesepakatan yang menjadi sistem sosial (tata nilai) yang berlaku pada masyarakat tersebut.

2. Konsepsi kelas

Kelas merupakan pengelompokan yang ada masyarakat, meskipun ada juga pengelompokan masyarakat yang tidak menggunakan kelas.

Ada

pengelompokan melalui penggolongan fisik (usia, jenis kelamin dan ras), penggolongan melalui status sosial (agama, kebangsaan dan pekerjaan), ada juga ahli yang mengelompokkan masyarakat melalui penghasilan dan golongan fungsional.
Berdasarkan pembahasan kita sebelumnya bahwa manusia berhadapan langsung dengan alat produksi dan hasil produksinya sehingga segregasi muncul melalui kepemilikan dan penaklukan, pengelompokan melalui penghasilan, status sosial dan golongan fungsional di atas tidak dapat menjelaskan dari mana asalnya kelas-kelas terbentuk dalam masyarakat. Pengelompokan model ini menjerumuskan kita pada pandangan bahwa masyarakat telah terkotak-kotak dan tidak saling berkorelasi. Sekalipun akan ada pandangan mengenai perubahan sosial dalam cara pandang ini yang terjadi hanyalah perbaikan/perubahan secara parsial tanpa memperhatikan dampak-dampak perubahan secara keseluruhan. Hal ini disebabkan oleh titik landasan analisanya yang lemah. Pengelompokan berdasarkan penghasilan (max weber) bersifat ahistoris karena tidak dapat menjelaskan darimana penghasilan itu muncul sedangkan konsep golongan fungsional (talcott parsons) mensegregasi masyarakat tanpa menjelaskan kenapa segregasi ini muncul.

Begitu juga dengan pengelompokan melalui penggolongan fisik, penggolongan seperti ini tidak memiliki implikasi apapun secara politik karena pengklasifikasiannya lebih bersifat historis daripada natural. Contohnya jika kita memandang penggolongan melalui ras, penggolongan ini lebih merupakan penggolongan sosial daripada biologis. Begitu juga penggolongan dalam gender yang kadang sering dilegitimasi sebagai penggolongan sosial rupanya lebih bersifat biologis.

Secara umum pembagian-pembagian kelas tak berhubungan dengan perbedaan-perbedaan yang alamiah; walaupun memang bisa saja pembagian kelas itu mengelompok ke dalam jenis ras yang sama, kelompok-kelompok etnis yang sama, menerobos garis usia dan jenis kelamin karena kelas terbentuk secara histories mengikuti perkembangan pola-pola pemenuhan kebutuhan hidup manusia dalm corak produksinya. Oleh karena itu, perkembangan kelas juga tidak berjalan linier dalam perdaban manusia. Perkembngan kelas dalam proses segregasinya membutuhkn syarat pokok segregasi yaitu perampasan hasil lebih.

3. Pembagian kelas

Pembagian kelas dapat dianalisa dari kemunculannya sejak adanya pembagian kerja antar anggota masyarakat yang berkaitan dengan penguasaan kekuatan produksi yang di dalamnya terdapat modal, alat produksi, keahlian produksi dan tenaga kerja. Yang dalam hal ini menghadapkan dua kelas yang saling bertentangan dalam masyarakat yaitu kelas berpunya yang memiliki kekuatan produksi (borjuis) dan kelas yang tidak berpunya alat produksi dan menjual tenaga kerjanya untuk bertahan hidup (proletariat) sebagai kelas fundamentalnya. Format pembagian kelas yang ada masih menyisakan hal-hal peninggalan corak produksi lama sekaligus menyambung cikal bakal corak produksi yang baru. Keadaan seperti inilah yang mampu menjelaskan keberadaan kelas-kelas non-fundamental.

Jika dikatakan bahwa klasifikasi dapat dilihat dari kepemilikan alat produksi maka secara formal kita juga akan mengalami kesulitan ketika melihat realitas seperti petani yang memiliki tanah seluas 0,8 hektar beserta alat pertaniannya berupa cangkul, bajak dan kerbau. Atau dalam kasus lain di perkotaan terdapat pedagang kaki

lima

yang memiliki panci dan kompor sebagai alat produksinya. Pertanyaannya adalah apakah mereka dapat di klasifikasikan ke dalam kelas borjuis? Bagaimana pula dengan pekerja lepas seperti kuli yang memiliki sekop dan peralatan tukang? Atau buruh yang memiliki warung di rumahnya?
Perlu diperhatikan di sini bahwa persoalan kelas tidaklah tergantung pada sembarang peralatan, namun peralatan-peralatan utama yang dipergunakan untuk memproduksi barang kebutuhan masyarakat secara keseluruhan. Mengapa demikian adalah karena "kelas" adalah kategori yang berada di tingkat pembahasan "masyarakat". Tingkatan masyarakat mencakup lingkup yang luas, karenanya dalam melihat peralatan-peralatan produksi ini kita juga harus melihat pada lingkup yang sama.

Jadi, dengan interpretasi di atas kita dapat mengetahui bahwa buruh tidak bersama-sama memiliki pabrik atau mesin-mesin pabrik, kuli tidak memiliki bersama traktor dan truck semen juga petani yang memiliki lahan sempit tidak memiliki mesin pertanian besar dan surplus produksinya hanya dapat memnuhi kebutuhan subsistennya. Sedangkan kaum borjuasi memilikinya.

4. Kesadaran kelas

Perbedaan relasi kepemilikan ini juga menentukan watak kelas karena merepresentsikan kepentingan kelasnya. Buruh yang tidak memiliki alat produksi dan bekerja secara terorganisir dengan upah regular meskipun tidak mudah untuk dibentuk, kesadarannya akan mengarah pada watak progresif berupa penguasaan bersama atas alat produksinya dan lebih sulit untuk digoyahkan ketika kesadarannya sudah terbentuk, petani yang memiliki relasi kepemilikan individu terhadapa alat produksinya akan mempertahankan kepemilikan individu terbatas pada lahan dan tenaga kerja terhadap pengelolaan tanah, ini dapat dilihat dari mudahnya petani terorganisir untuk melindungi kepemilikannya atas tanah sedangkan kaum pekerja lepas (sector informal, kuli) yang memiliki posisi yang paling tidak aman dalam sistem kapitalisme akan memiliki perhitungan jangka pendek sehingga ia akan mudah beralih keberpihakannya kepada kelompok mana yang dapat memberikannya keuntungan.

Kelompok lain yang sulit untuk di klasifikasikan kelasnya adalah kaum intelektual, seniman dan produsen jasa. Kaum intelektual memiliki keistimewaan dengan kemampuannya mengkonsepsi perkembangan teknologi sains ataupun sosial, namun karena posisi ini tidak mudah di akses oleh semua orang karena mahalnya biaya yang harus di keluarkan dan Golongan ini jelas tidak secara langsung menjadi bagian dari hubungan produksi.

Mereka menjadi bagian dari kekuatan produksi perusahaan pendidikan yang hidup dari upah. Tetapi, berbeda dengan proletar pada umumnya, kelas ini cenderung pada kepentingan kelas borjuis dan menjadikan

gaya

hidup borjuasi sebagai orientasi
gaya

hidup mereka. Anggota kelas ini, sebagian besar, bersama-sama dengan borjuis kecil dan petani pemilik lahan bisa saja aktif dalam setiap revolusi politik yang hanya mengganti satu golongan borjuis dengan golongan borjuis lainnya, tapi akan menjadi reaksioner dalam revolusi sosial yang mengubah tatanan sosial ekonomi secara mendasar karena kepentingan mereka terkait langsung maupun tidak dengan kepentingan borjuis.
5. Analisa Kelas

Analisa kelas digunakan untuk mengklasifikasikan masyarakat dengan memperhatikan relasi produksi atau kepemilikan atas alat-alat produksi utama dalam sistem sosial yanmg berlaku dan atribut sosial sebagai garis demarkasi sosial.

Analisa kelas dapat diopersionalkan dengan memahami konsepsi kelas dan membagi kelas sosial sesuai dengan kepemilikan alat produksinya yang dilanjutkan dengan menentukan watak kelas masyarakat tersebut, juga terlebih dahulu memetakan pergerakan ekonomi politik di daerah tersebut seperti arus modal, corak produksi dominan dan sistem politik yang berlaku.

Dialektika interaksi masyarakat dalam sistem sosialnya juga tidak bisa menetapkan manusia berketetapan dalam satu bentuk kelas dimana ia tergabung didalamnya. Hal yang perlu di perhatikan sebagai prinsip dialektika masyarakat dalam analisis kelas yang menetapkan masyarakat sebagai objek sekaligus subjek analisis adalah ; bahwa objek selalu dalam proses dan kategori objek merupakan tidak tetap (dinamik).

Dalam pengoperasionalan analisis kelas yang mengandalkan proses corak produksi dalam kapitalisme dipandang sebagai proses dan bukan klasifikasi tetap terhadap objek. Hal ini dapat diambil dari teori marxis tentang proses akumulasi modal.

M (money) – C (commodity) – M’ (money)’

Modal dalam teori ini bukan sekedar uang melainkan juga kekuatan produksi ; alat produksi, tenaga kerja, keahlian, uang. Akumulasi modal merupakan proses berkesinambungan bukannya tindakan ekonomi yang terpisah – pisah. Oleh karena itu analisa kelas harus dapat memahami proses proses interaksi objek dalam kelas dan antar kelas dengan corak produksi dan alat produksinya, analisa kelas juga harus dapat memahami kecenderungan – kecenderungan watak kelas yang muncul dalam proses akumulasi capital.

Sejak dulu, sudah ditancapkan dalam ingatan kita tentang Indonesia yang agraris, zamrud khatulistiwa, mayoritas penduduknya memiliki corak produksi pertanian dan lain-lain. Kita pun dengan tanpa berpikir dapat saja membenarkan tesis ini dengan argument-argument tambahan karena memang corak produksi pertanian masih dapat dilihat di setiap tempat di negeri ini.

Asumsi ini juga yang pada masa Orde baru dijadikan pembenaran atas penerapan teori agricultural first development yang menyebabkan petani Indonesia menjadi tergantung pada bibit-bibit pabrik dan pestisida tanpa memberikan perubahan pada alat produksi pertanian, transformasi teknologi pertanian dan industrialisasi pertanian sesungguhnya. Kini asumsi ini berbenturan dengan tesis bahwa Indonesia adalah Negara industri dilihat dari corak ekspor-impor substitusi yang sudah dijalankan oleh Indonesia sejak tahun 1970-an semenjak Indonesia mengambil developmentalisme (kapitalisme) sebagai landasan bagi teori pembangunannya.

Selain itu, ekspor-impor substitusi juga telah menghancurkan corak produksi Post-colonial yang menghasilkan bahan mentah dengan menggantikan produksi bahan mentah menjadi arang setengah jadi. Sehingga, dalam hal ini sektor agraria yang mengkhasilkan bahan mentah ikut terancam.

Namun, kapitalisme tidak hadir begitu saja tanpa lebih dahulu merampas alat produksi dari para pekerja bebas (seperti, nelayan atau tani) dan memaksa mereka untuk menjual tenaga sebagai proletariat di tempat merka berasal atau memaksa mereka keluar dari tempat relasi ekonomi asalnya. Kapitalisme juga membutuhkan lahan usaha, antara lain tanah dan juga wilayah laut, sebagai tempat penghisapan. Oleh karena itulah kelas-kelas lain dalam masyarakat juga berkonflik dengan kapitalisme.. Kasus penggusuran tanah, misalnya, memaksa petani kehilangan alat produksi mereka yang paling utama, yakni tanah. Karena mereka kehilangan tanah, mereka akan terpaksa memburuh di kota-kota besar dan selama enam bulan berikutnya mereka akan menjadi korban PHK massal yang menempatkan mereka menjadi kaum miskin perkotaan.

Untuk menempatkan tesis bahwa Negara tersebut adalah Negara agraris atau Negara industri haruslah dapat mengidentifikasi beberapa indicator pokok yaitu pada konsentrasi pemilikan alat produksi, konsentrasi angkatan kerja dan sumbangan sector ekonomi terhadap PDB nasional.

Pasca 1965, Orde Baru merupakan penganut setia teori Rapid Growth economic system dan mengaplikasikannya pada rancangan Pelita (Pembangunan lima tahun) yang mensyaratkan investasi asing dan dana pinjaman ke lembaga monoter internasional sebagai jaminan bagi terlaksananya pembangunan. Kebijakan ekonomi ini menghasilkan banyak perubahan dalam corak produksi masyarakat. Konsentrasi pembangunan di satu tempat (sentralisasi) juga ikut mempengaruhi perubahan preposisi perpindahan kelas social dan konsentrasi massa secara geografis.

Model Rapid Growth economy ini sangat bergantung pada besaran investasi yang masuk ke Negara dan satu-satunya cara menarik investasi adalah dengan memperbaiki iklim investasi yaitu dengan pencabutan subsidi, privatisasi asset Negara dan deregulasi yang mempermudah syarat-syarat masuknya investasi asing.

Investasi asing yang masuk ke Indonesia tidaklah tertarik dengan produksi bahan mentah pertanian karena arus akumulasi modal dari produksi bahan mentah sangat lamban belum lagi Negara-negara sentral (core) sudah menanggulangi ketergantungan akan bahan mentah dari Negara-negara perifeferi dengan teknologi yang mereka miliki, mereka lebih tertarik pada sector-sektor yang dominant yang dapat mempercepat akumulasi modal yaitu ekspor impor barang substitusi, manufaktur, pertambangan dan perbankan.

Jika dilihat melalui data BPS pada tahun 2007 mengenai jumlah angkatan kerja, menunjukkan bahwa hanya 41,8% angkatan kerja Indonesia yang bekerja di sektor pertanian. Lainnya bekerja di berbagai macam industri, mulai dari Industri Manufaktur (11,8%); Pertambangan, Energi dan Konstruksi (18,9%); Perdagangan dan Perbankan (19,9%); dan sisanya (10,6%) di sektor Jasa. Lebih jauh lagi, data Produk Domestik Bruto Indonesia tahun 2007 menunjukkan bahwa sektor pertanian hanya menyumbang 12,5% dari PDB. Sektor Industri Manufaktur menyumbang 25,6%; sektor Pertambangan, Energi dan Konstruksi menyumbang 17,2%; Perdagangan dan Perbankan menyumbang 20,9%. Sisanya yang 25,2% disumbangkan oleh sektor Jasa, termasuk transportasi.

Berdasarkan data kuantitatif diatas dapat disimpulkan bahwa, mayoritas rakyat Indonesia tidak lagi bekerja di sektor pertanian. Sekalipun jumlah orang yang bekerja di sektor industri manufaktur hanya sedikit lebih dari sepersepuluhnya, jika kita total semua orang yang bekerja dalam salah satu industri telah lebih besar dari 50% dari seluruh kekuatan produktif Indonesia. Kemudian, sektor pertanian sudah sangat kehilangan produktivitasnya. Sekian banyak orang yang bekerja di sektor pertanian itu tidak lagi memberikan sumbangan yang berarti bagi perekonomian Indonesia. Katakanlah seluruh pekerja di sektor pertanian mengadakan pemogokan total selama setahun, perekonomian hanya dirugikan tidak sampai seperlimanya.

Jika melihat preposisi perpindahan kelas dan dinamika konsentrasi geografis populasi, Mayoritas sirkulasi kekuatan produktif Indonesia tidak lagi terdapat di pedesaan, melainkan di perkotaan. Bukan saja secara kuantitatif yang bersangkutan dengan jumlah pekerjanya, melainkan dari tingkat produktivitasnya. Data kependudukan Indonesia telah dengan menunjukkan pada kita bahwa Indonesia kini adalah sebuah negara industri kapitalistik dengan preposisi perpindahan kelas yang tidak linier tetapi dinamik. Dengan demikian, tesis bahwa Indonesia adalah sebuah negeri agraris telah terpatahkan.

Setelah kita melihat bahwa Indonesia bukan lagi negeri agraris, melainkan negeri industri. Kita dapat melihat bahwa pengerukan keuntungan tidak lagi didasarkan pada penarikan upeti dari para hamba-sahaya, melainkan dari penghisapan terhadap hasil kerja, yang dilakukan dengan cara kapitalistik. Para preman dan tentara masih terus menarik "uang keamanan" - namun bukan ini yang melandasi keputusan politik, melainkan pasar saham. Sisa-sisa budaya feudalistik memang masih ada di Indonesia - namun, di negeri kapitalis yang termaju sekalipun nilai-nilai feudal ini (terutama yang menyangkut keluarga) masih juga terus dipertahankan. Tentu saja kapitalisme akan memelihara nilai-nilai feudal yang menguntungkan untuk kelanggengan kapitalisme. Tapi, nilai-nilai feudalistik bukanlah feudalisme. Jika kita menarik persamaan dengan sembarangan, kita akan terjebak pada hasil analisa bahwa di Indonesia masih ada feudalisme - dan feudalisme itu yang harus dilawan terlebih dahulu. Dan, jika kita berupaya menggulingkan sistem feudal dan mendirikan demokrasi liberal a la Barat, buat kita di Indonesia hari ini: kekuasaan feudal mana yang kita lawan? Sistem ekonomi-politik feudal mana yang hendak kita gulingkan

Paradoks Kemenangan Politik Sosialisme

sosialisme bukanlah populisme. Sebuah masyarakat dimana rakyat melihat negara, menyediakan kepada mereka sumberdaya-sumberdaya beserta jawaban atas seluruh masalah yang dialaminya. Sistem seperti ini, juga tidak akan mempercepat pengembangan kapasitas manusia; selebihnya akan meninggalkan rakyat yang memandang negara sebagai sumber jawaban dan juga pemimpin yang menjanjikan semuanya.

Lebih lanjut, sosialisme bukanlah totalitarianisme. Tepatnya, karena keberadaan manusia berbeda-beda dan memiliki kepentingan dan kemampuan yang berbeda, perkembangan mereka per definisi membutuhkan pemahaman dan penghormatan bagi kepelbagaian itu. Baik negara atau komunitas, tidak memiliki hak untuk memaksakan persatuan dalam aktivitas produksi, pilihan-pilihan konsumsi atau gaya hidup yang mendukung kebangkitan dari apa yang dikatakan Marx sebagai persatuan berdasarkan atas pemahaman yang berbeda (unity based upon recognition of difference).

Selain itu, kita membutuhkan pemahaman, karena sosialisme bukanlah pemujaan atas teknologi—–sebuah penyakit yang melanda Marxisme dan yang di Uni Soviet termanifestasikan dalam wujud pabrik-pabrik besar, pertambangan, dan pertanian-pertanian kolektif untuk mengamankan asumsi skala ekonomi. Sebaliknya, kita harus mengakui bahwa perusahaan kecil mungkin menjanjikan kontrol demokratik yang lebih besar dari bawah (yang berarti pengembangan kapasitas produser) dan mungkin juga lebih ramah lingkungan sehingga bisa melayani kebutuhan masyarakat.

Kita mesti belajar dari pengalaman abad ke-20. Kini kita mengetahui bahwa keinginan untuk membangun masyarakat yang baik untuk rakyat tidaklah mencukupi— Anda harus bersiap untuk keluar dari logika kapital jika ingin membangun dunia yang lebih baik. Dan, kita tahu, sosialisme tidak bisa direalisasikan dari atas melalui usaha-usaha dan instruksi-instruksi (tutelage) oleh para pelopor, yang mengambilalih seluruh inisiatif dan tidak percaya terhadap kemampuan massa.

“Kelas pekerja,” demikian Rosa Luxemburg dengan bijaksananya mengatakan, “membutuhkan hak untuk menciptakan sendiri kesalahan-kesalahannya dan belajar pada dialektika sejarah."

Ketika kita memulai dari tujuan sebuah masyarakat yang terbebas dari seluruh potensi-potensi keberadaan kemanusiannya dan memahami bahwa jalan untuk mencapai tujuan itu tak dapat dipisahkan dari kemampuan diri rakyat, maka kita bisa membangun sebuah masyarakat manusia yang sejati.

*di kutip dan diprovokasi oleh tulisan Michael A. Lebowitz

Kamis, 28 Januari 2010

Hymne

Mereka membangkitkan manusia di bumi
Mereka bilang kau akan makan
Maka kau makan

Mereka melemparkan langit ke Bumi
Mereka bilang Tuhan kan musnah
Maka Tuhan kan musnah

Mereka membangun Rumah di Bumi
Mereka bilang cuaca akan indah
Maka cuaca kan indah

Mereka membuat lubang di Bumi
Mereka bilang api akan berkobar
Maka api kan berkobar

Bicara pada para penguasa di Bumi
Mereka bilang kau akan memberi jalan
Maka kau akan memberi jalan

Mereka menggenggam Bumi di tangan mereka
Mereka bilang hitam kan menjadi putih
Maka hitam kan menjadi putih

Kemuliaan pada tanah dan Bumi
kepada matahari di hari Bolshevik
maka kemuliaan pada Bolshevik


Karya Luis Aragon (1934)
diterjemahkan oleh Roliv
Sumber; Hourra l’Oural. 1934, Denoel, Paris