Jumat, 28 Oktober 2011

Apatisme dan alienasi politik

Oleh: Rolip Saptamaji

Tulisan ini berupaya menyajikan fenomena politik kontemporer yang sedang berlangsung di masyarakat indonesia ataupun di seluruh masyarakat di dunia yang berada dibawah negara. tulisan ini sendiri terbagi dalam beberapa bagian yang akan menjelaskan secara deduktif mengenai Tema Alienasi Politik yang menyebabkan Apatisme masyarakat. saya mencoba mengungkap pertentangan sejati dibalik ketidakacuhan yang diselubungi oleh kompromi demokrasi parlementer yang sedang mendominasi politik dunia melalui sudut pandang Marxian.
Apatisme merupakan sikap acuh tak acuh terhadap sebuah hal, dalam hal ini adalah politik. Apatisme masyarakat terhadapa politik dilatari oleh dua aspek yaitu rendahnya kepercayaan terhadap politik yang berlangsung dan rendahnya ketertarikan masyarakat terhadap politik (Oskarson, 2008: 8). Apatisme masyarakat bukanlah merupakan tindakan parsial yang tidak terhubung dengan struktur namun merupakan dampak dari struktur yang ada sebagai bentuk protes maupun keputusasaan terhadap politik yang berlangsung di negaranya.
Dalam kasus apatisme masyarakat terhadap politik khususnya di indonesia, hal ini terjadi melalui reproduksi wacana dan kesenjangan antara masyarakat dan elit politik. Banyak hal yang melatarbelakangi munculnya apatisme masyarakat tersebut sebagai turunan dari kedua aspek penyebab apatisme politik diatas. Apatisme masyarakat di indonesia bukan hanya muncul dari rendahnya ketertarikan masyarakat terhadap agenda politik karena telah terbukti pada setiap pemilihan umum baik itu pemilihan umum kepala daerah maupun pemilihan umum nasional, masyarakat tetap memilih. Apatisme masyarakat di indonesia mengambil bentuk ketidakacuhan masyarakat terhadap perkembangan politik dengan memvisualisasikan politik sebagai permainan kotor sedangkan dalam ajang pemilihan umum, masyarakat sebagai pemilih cenderung hanya melakukan ritual demokrasi dengan datang memberikan suara tanpa mempertimbangkan pilihannya dengan baik.
Apatisme politik tidak hanya terjadi pada negara berkembang seperti di indonesia namun juga terjadi di negara-negara maju. Perbedaan antara negara berkembang dan negara maju hanyalah pada tingkat kesadaran pada pilihan apatis dan latar pendorong munculnya sikap apatis. Sikap apatis masyarakat terhadap politik akan mendorong krisis legitimasi bagi pemerintahan, namun di lain [pihak juga akan melanggengkan status quo, dampak dari sikap ini adalah terhambatnya pembangunan politik di negara tersebut.
Apatisme masyarakat terhadap politik secara struktural merupakan bagian dari alienasi politik yang dilakukan oleh negara baik secara sadar dengan melakukan isolasi terhadap masyarakat dari wacana politik maupun secara tidak sadar dengan mereprosuksi citra buruk terhadap politik itu sendiri melalui berbagai rangkaian kejadian dan instrumen pelaksana. Alienasi politik seperti dijelaskan oleh Lane dalam bukunya, Political Ideology, memiliki definisi umum sebagai keterasingan orang terhadap pemerintah dan politik dalam masyarakatnya sehingga memunculkan penolakan terhadap kegagalan politik (Lane,1962).
Konsep alienasi politik merupakan lawan dari konsep keterikatan atau hubungan politik yang terjadi antara masyarakat dengan negara. Konsep alienasi tersebut memiliki berbagai macam aspek sebagai pemunculannya yaitu ketidakmampuan, sikap apatis, sinisme dan ketidaksenangan terhadap politik.
The concept of alienation originates from the concept of entfremdung used by Marx and by Weber. In political sociology, political alienation has come to refer to the opposite of “political engagement” of any kind, and to include various aspects of inefficacy, apathy, cynicism, and displeasure (Citrin et al., 1975, Mason et al., 1985)
Alienasi politik menjauhkan masyarakat dari politik dan pemerintahan sehingga memunculkan kekecewaan dan keputusasaan terhadap politik di masyarakat. Sementara, tidak semua politisi dirugikan oleh kurangnya legitimasi masyarakat terhadap kekuasaan. Dalam oligarki, legitimasi tidaklah diperlukan. Masyarakat yang acu tak acuh pada setiap agenda politik nasional mupun daerah dapat ditempatkan sebagai floating mass yang hanya diaktifkan dimasa pemilihan. Bagi demokrasi prosedural, aktifitas legal formal demokrasi sangatlah penting namun tidak mencakup substansinya. Hal ini akan bersinergi dengan ketidakacuhan masyarakat, ketika para elit tidak dapat menyampaikan aspirasi masyarakat ataupun tidak lagi menepati janjinya semasa kampanye masyarakatpun hanya kecewa tanpa tindakan protes ataupun upaya advokasi politik bagi kebijakan yang bertentangan dengan masyarakat. Pada akhirnya, status quo akan terus bertahan dan oligarki pun akan tercipta di negara tersebut tanpa disadari oleh masyarakat.