Jumat, 09 September 2011

Labirin isu Korupsi (2)

Good Governance dan Korupsi
isu good governance memiliki kaitan erat dengan perkembangan isu korupsi di negara berkembang dan negara post komunis. keterkaitan antara keduanya seringkali tidak disadari. namun jika kita runut sesai dengan dinamika politik yang terjadi di negara berkembang dan negara poskomunis, kaitan ini mungkin akan terlihat lebih terang. isu mengenai good governance yang kini menjadi agenda bersama dalam pemerintahan indonesia dan negara berkembang lainnya merupakan resep jitu dari world bank untuk mengatasi korupsi di negara berkembang. good governance sendiri merupakan konsep atau model pemerintahan bukan teori karena konsep ini pun berasal dari annual report world bank pada tahun 1992. konsep good governance mulai dipromosikan oleh UNDP dan IMF pada tahun 1996 sebagai konsepsi baru yang dapat menolong negara berkembang dan kurang berkembang yang sedang menghadapi krisis ekonomi dan politik.
dalam jurnal mengenai dukungan publik terhadap pemerintahan korup, saya menemukan beberapa fakta baru bahwa konsep good governance dilatarbelakangi oleh kebutuhan perluasan pasar global. dalam jurnal tersebut dijelaskan bahwa konsep good governance lahir dari keresahan masyarakat ekonomi (pemodal/MNC/TNC) terhadap stabilitas akumulasi di negara berkembang dan poskomunis setelah runtuhnya blok soviet dengan model ekonomi terpimpin (sampai saat ini saya masih percaya bahwa model ekonomi hanya ada tiga: ekonomi terpimpin, pasar dan campuran).
sebelum keruntuhan bloksoviet, korupsi di negara berkembang dan negara komunis dianggap sebagai kejahatan yang perlu dilakukan untuk memutus pita merah birokrasi dan meningkatkan pertumbuhan ekonomi melalu redistribusi kekayaan negara. asumsi ini didukung oleh para ahli teori funsionalisme. namun setelah runtuhnya blok soviet di akhir 1980an paradigma ini mulai berubah karena munculnya peluang pasar yang menjanjikan di seluruh dunia dan mulai ditinggalkannya industri substitusi impor di negara berkembang. sejalan dengan munculnya peluang pasar tersebut, para pemodal/negara industri membutuhkan portofolio investasi dan kestabilan investasi di negara-negara perluasan pasarnya. untuk itu, korupsi menjadi sangat berbahaya dan ditakuti karena akan mengganggu stabilitas akumulasi modal.
namun para pemodal pun memahami bahwa pada negara yang memiliki relasi patron klien yang kuat seperti pada negara berkembang dan negara poskomunis politik kroni yang entunya korup sangat dibutuhkan untuk menjaga keberpihakan pemerintah terhadap modal. untuk itu para ahli teori fungsionalis dan ahli teori lainnya merumuskan penyelesaian tentatif yang tambal sulam bagi permasalahn korupsi. sampailah mereka pada kesimpuan bahwa tinggi rendahnya korupsi di suatu negara bergantung pada kuat lemahnya institusi/lembaga negara demokratis. dalam pandangan institusionalis ini, korupsi segera mendapatkan obat penawarnya yaitu reformasi birokrasi dan perbaikan administrasi serta transparansi juga peran minimalisir negara. pemerintah dijadikan katalisator bagi pemodal untuk berhadapan dengan rakyat negara itu sendiri.
perbaikan model institusionalis ini samasekali akan gagal, bukan hanya karena konsep ini sangat tidak adil bagi rakyat namun juga karena konsep ini menyimpan penyakit bawaan yaitu liberalisasi. konsep ini juga tidak sensitif secara kultural dimana penerapankonsepa akan berbeda pada setiap negara. perkembangan masyarakat yang berada di masa post diktatorial juga tidak pernah dihitung sebagai kendala atauun kekkhususan kontradiksi yang akan mempengaruhi keseluruhan proses. pelaksanaaan reformasi pada tingkatan institusi pemerintah bisa saja dilakukan secara formal namun relasi informal seperti klientalisme politik/politik kroni yang menjadi bangunan dasar demokrasi tidak akan pernah terhapus karena memang hal ini dipelihara sebagai hal yang menguntungkan bagi modal. good governance tidaklah semewah dan se mujarab promosinya karena seperti konsep fungsionalis lainnya, konse ini membawa cacat lahir yaitu hanya menyelesaikan masalah dari permukaan tanpa mencerabut akarnya sehingga masalah yang sama akan terus muncul dalam kualitas yang berbeda. penyelenggaraan good governance yang diiringi dengan keyakinana semu tentang konsep ini seperti yang dipraktekka pada saat ini hanya akan menjatuhkan negara pada labirin korupsi.

Kamis, 08 September 2011

Labirin isu Korupsi (1)

Selama satu minggu aku menyelesaikan review jurnal komparasi politik untuk menyelesaikan tugas kuliah. jurnal yang kubaca ini termasuk jarang dipublikasikan apalagi di indonesia, masalahnya sederhana saja karena Sage Publication tidak menerbitkan jurnal gratis leat internet sementara mahasiswa seperti aku selalu berharap ilmu itu bisa didapat gratis. salah satu tema yang aku pilih adalah soal korupsi, yah memang masalah umum dan klise. tapi berbeda dengan bahasan lain tentang korupsi, artikel ini menyajikan dimensi yang lebih unik.
Pembahasan mengenai korupsi selalu mengarah pada bagaimana korupsi bermula dan apa dampaknya. pembahasannya pun seringkali berujung pada solusi tentatif ataupun penyimpulan yang fatalis. misalnya, beberapa ahli mengatakan bahwa seharusnya diadakan reformasi birokrasi agar korupsi dapat ditekan ke level terendah. solusi ini berdasarkan asumsi bahwa birokrasi merupakan akar korupsi untuk itu harus dirubah menjadi sistem organisasi yang efektif. berbeda dengan para ahi, para aktvis dan praktisi politik mengambil kesimpulan bahwa korupsi adalah penyakit negara dan harus diberantas tuntas sampai akarnya. asumsi ini mungkin sangat berpihak pada rakyat tapi menurut saya sendiri terlalu reduksionis karena isu korupsi akan bersinggungan dengan kenyataan relasi klientalis dan patronase politik.
kedua solusi ini seringkali menegasikan fenomena yang janggal dalam sistem demokrasi yang dipromosikan oleh mereka. fenomena kejanggalan ini bisa kita ringkas dengan pertanyaan "mengapa Pemerintahan korup tetap mendapatkan dukungan publik?". dalam artikel "Why do Corrupt Goverment maintain Public Support", Luigi Manzetti dan Carole J Wilson berpendapat bahwa masyarakat yang berada di Negara yang memiliki institusi demokratik yang lemah dan memiliki hubungan patron klien yang kuat cenderung mendukung pemimpin korup untuk mendapatkan keuntungan pribadi. dalam kondisi ini, isu korupsi dipersinggungkan dengan isu klientalisme politik sebagai fenomena respirokal.
Pembahasan mengenai korupsi politik yang hanya membahas akar dan dampaknya secara normatif seringkali melokalisir pembahasan mengenai korupsi politik dalam wilayah penegakan hukum dan tidak membahas secara spasial. dampak yang paling sering dlupakan dan coba diulas oleh artikel tersebut adalah dampak korupsi politik terhadap disfungsi demokrasi. dalam disfungsi demokrasi, korupsi politik menghasilkan dua aspek yaitu, apatisme masyarakat dan civil disondicene (ketidakpatuhan masyarakat). apatisme masyarakat terhadap politik yang dipicu oleh korupsi politik dapat ditelusuri di Indonesia ketika media secara terus menerus memuat kasus korupsi politik dan mendelegitimasi negara tanpa penyelesaian secara kongkrit oleh negara, dalam kasus indonesia masyarakat sudah mengetahui bahwa kasus korupsi politik terjadi di selueurh sektor pemerintahan baik pusat hingga daerah. media massa selalu menjadikan kasus korupsi politik sebagai headline dan seringkali beruntun selama beberapa edisi namun juga ditampilkan bahwa kasus korupsi selalu lolos dari ancaman hukum berat, para koruptor selalu mendapatkan remisi dan cenderung tetap tanpa cela bahkan masih dapat menjadi kontestan pemilu. fenomena ini mebuat masyarakat skeptis terhadapa penegakan hukum bagi para koruptor dan membuahkan sikap apatis terhadap dinamika politik. namun, tidak hanya berhenti disitu, masyarakat juga menangkap politik sebagai peluang ekonomi dan tidak perduli pada siapa yang dipilihnya karena dalam pandangan masyarakat para pemimpin politik sama saja hanya berakhir pada korupsi setelah ia berkuasa. pada tingkatan yang lebih ekstrim, pandangan skeptis masyarakat terhadap politik dapat melahirkan pemberontakan dan perlawanan masyarakat terhadap negara/civil disobdience, fenomena penggulingan kekuasaan baik secara langsung melalui people power ataupun seperti impeachment, mundurnya perdana menteri dan delegitimasi pemerintah.
korupsi memang selalu diupayakan menjadi definisi buyar dari penyalahgunaan kekuasaan untuk kepentingan pribadi hingga tindakan perusakan internal dalam sistem ataupun sekedar penyelewengan dana. namun solusi yang dihadirkan dengan hanya beranggapan bahwa reformasi birokrasi dapat memberantas korupsi tampaknya tidak begitu mendapatkan dukungan ketika disandingkan dengan isu klientalisme politik yang lebih rumit.
korupsi sebagai sistem respirokal dalam kekuasaan telah menjadi labirin dalam politik demokratis karena pembentukan kroni/klien dalam kontes pemilu telah menjadi kebutuhan utama dalam strategi pemenangan pemlu terutama di daerah yang luas dan jumlah pemilih yang banyak. dengan melakukan reformasi birokrasi dan memberikan kekuasaan kepada pemerintahan korup sebenarnya para pengusul pemberantasan korupsi hanya berbicara dengan mata tanpa otak.
korupsi sebagai sistem respirokal dalam kekuasaan aharus ditelisik lebih mendalam dari permasalahan apatisme masyarakat, civil disobdience, sistem pemilu dan regenerasi keuasaan bahkan aspek kultural.
ah mampat sudah otak ini,.. nanti disambung lagi deh...

Sabtu, 03 September 2011

Apakah artinya Mobilisasi yang didasarkan pada kepentingan dan kesiapan massa ?

Garis Massa mengajar kita bahwa kita harus mulai dan bergerak atas dasar kepentingan obyektif massa. Ini berarti bahwa kita harus bergerak atas dasar kebutuhan nyata mereka dan tidak ada yang kita pikirkan. Oleh karenanya, tidak peduli maksud kita amat baik jika kita menyimpang dari kepentingan obyektif massa, pastilah kita akan terpisah dari massa pada saat itu juga.
Akan tetapi, biasanya massa belumlah menyadari kebutuhan obyektif mereka. Mereka masih tidak dapat memahami kebutuhan untuk mengubah, dan mereka belum siap untuk perubahan. Jika kita bertahan dan ngotot dengan posisi kita, kita akan terasing dan terpisah dari massa ‑‑tidak peduli betapa benar kita. Kita harus aktif sampai mayoritas mereka mengakui ide yang kita bentuk dan sampai mereka siap dan berketetapan hati untuk melakukannya.
Bagaimana kita dapat mengerjakan ini ? Kita dapat membagi massa kedalam tiga bagian ; Mereka yang maju, mereka yang sedang-sedang dan mereka yang terbelakang. Bagian yang maju dari massa mudah dapat memahami kebutuhan untuk perubahan dan mereka siap melakukan perubahan ini. Bagian yang terbelakang dipihak lain biasanya memiliki tanda pengaruh keterbelakangan, ragu‑ragu atau menolak. Bagian sedang-sedang atau tengah biasanya mengerti dan memahami kebutuhan akan perubahan, tetapi bimbang dan mutlak mereka tidak siap.
Kita terutama tergantung pada bagian yang maju dari massa, bagian yang paling maju, aktif, bersemangat dan tertarik untuk mengubah. Melalui bagian yang paling maju ini, kita dapat mengerjakan bagian tengah dan berusaha memenangkan hati mereka yang terbelakang. Dengan cara ini kita secara tepat memimpin massa berdasarkan kepentingan obyektif mereka dan dengan memperhitungkan kesiapan mereka untuk melakukan perubahan.
Jika kita melakukan ini tanpa memperhitungkan kesiapan massa, kita sudah melampaui kesadaran dan kesiapan mereka satu hari. Bila itu terjadi, maka kita akan mengerakan mereka dengan mengkomando mereka dan bukan atas dasar inisiatif dari mereka memahami dan menerima maka, ini adalah komandoisme.
Jika kita memakai kepemimpinan pada kepercayaan dan mengerahkan massa besar tetapi terbelakang, kita akan menjadi ekor dari massa. Apa yang akan terjadi adalah bagian yang maju dan menengah dari massa sudah bersiap dan mengajak suatu perubahan, akan tetapi kita menjadi orang bimbang dan massa adalah orang yang akan meyakinkan kita. Maka, kita akan menjadi buntut mereka. Inilah buntutisme.

*Pecahan Materi garis Massa PRD Jabar Dokumentasi 2007

Apakah Dari Massa untuk Massa itu?

Metode yang tepat dalam memimpin massa adalah "dari massa untuk massa". Ini berarti mengumpulkan ide yang terpencar‑pencar, merumuskannya, dan mengembalikannya kepada mereka dan menjelaskannya keseluruhan gagasan sampai mereka menerima dan menuruti ide tersebut.
Kepemimpinan "dari massa untuk massa" adalah sesuai dengan Garis Massa. Untuk memahami kondisi dan masalah‑masalah dari massa, kita harus bersandar pada pengetahuan dan kecerdasan massa dan kita yakin bahwa keputusan‑keputusan dan rencana‑rencana yang tepat dapat dibentuk hanya apabila massa berpartisipasi dan menyumbangkan pengalaman dan pengetahuan mereka. Itulah sebabnya, kita bertanggung jawab untuk bergaul dan membuat investigasi ditengah‑tengah massa, mengumpulkan gagasan‑gagasan yanq masih terpencar‑pencar dan belum sistematis. Dengan menganalisa dan memasukan gagasan‑gagasan ini, dengan menghargai dan mempercayai massa, memungkinkan kita menyempurnakan gagasan‑gagasan yang sudah terkumpul dan sistematis, yang mencerminkan kondisi real massa, dan massa menjadi jela bagaimana persoalan‑persoalan tersebut bisa diatasi.
Untuk melaksanakan gagasan‑gagasan yang kita bentuk dan untuk mengatasi persoalan‑persoalan massa! kita bertumpu pada kemampuan cdan kokuatan massa. Sekalipun per~oalan tersebut bRea~, kita yakin, sepanjang keputusan dan persatuan massa bulat dan penah kita bisa mengatasinya. Itulah sebabnya! menjadi tanggung jawab kita untak secara sabar menjelaskan kepada massa ide‑ide yang kita susun dari mereka. Kita mengikuti ide‑ide ini ditengah-tengah massa sampai mereka memeluknya sebagai milik.i mereka senciiri dan melaksanakannya melalui, mobilisasi kolektit mereka.

*Pecahan Materi Garis Massa PRD Jabar Dokumentasi 2007

Apakah Garis Massa itu ?

Garis massa adalah prinsip revalusioner yang mengajar kita tegak berdiri dan percaya pada massa untuk pembebasannya. Prinsip ini didasarkan pada kenyataan baNwa massa dan hanya massa yang dapat membuat sejarah.
Hal ini sudah dibuktikan oleh sejarah dunia ratus tabun yang lampau, bahwa faktor yang menentukan dalam perubahan masyarakat tidak lain daripada massa. Adalah kekuatannya dalam produksi yang membuat masyarakat bertahan hidup. Melalui pengetahuan dan kecerdasannyalah pengetahuan dan kehidupan masyarakat berkembang. Dengan kekuatannya, setiap kekuatan yang merintangi kemajuan masyarakat dapat disingkirkan. Itulah sebabnya kita mengata­kan bahwa massa adalah pahlawan sesungguhnya. Keberhasilan setiap tujuan tergantung atas dukungan dan partisipasi massa. Maka, demi keberhasilan perubahan perlu bagi kita bersandar dan percaya kepada massa.
Keberhasilan setiap tujuan dan solusi setiap masalah tergantung pada partisipasi dan mobilisasi aktif massa. Kita harus terjun ditengah-tengah massa dan menyatu dengan mereka. Dengan sabar membangkitkan, mengorganisir, dan menggerakkan massa. Kita bisa membuat mereka membentuk dan menunjukan kekuatan mereka dalam perubahan revolusioner. Inilah satu‑satunya cara. Tidak ada cara lain untuk merebut kebebasan dan demokrasi !
Adalah tanggungjawab kita untuk mempelajari dan mempraktekan Garis Massa. Perlu bagi setiap orang‑orang revolusioner untuk mengolah diri dalam usaha menggerakan massa dengan sabar dan tekun di tengah‑tengah massa, dengan rendah hati bergaul dengan massa. Dengan cara ini, kita bisa mencegah sikap dominasi dan menghindari terpisahnya diri kita dari massa.

*Pecahan materi Garis Massa PRD Jabar dokumentasi 2007