Jumat, 02 Desember 2011

Penokohan dalm Novel Pacar Merah Indonesia

Penokohan dalam PMI karya Matu Mona sebenarnya termasuk sederhana dengan karakter yang lebih mudah dipahami ketimbang pendalaman karakter yang dilakukan para sastrawan di Balai Pustaka. Karakter utama yaitu pacar merah dikarakterisasikan sebagai seorang pahlawan yang rela berkorban demi kemerdekaan bangsanya, teguh berpendirian dan berani mengorbankan kehidupan pribadinya. Karakter lain seperti Djalumin dan Soe Beng Kiat menjadi karakter bawahan Pacar Merah yang setia sedangkan Paul Mussotte, Aliminsky dan Semaunov dikarakterisasi sebagai tokoh yang mengalami dilemma dalam perjuangan kemerdekaan karena afiliasinya dengan organisasi internasional. Tokoh-tokoh pembantu seperti Ninon Phao, Phya Sakhon dan Francois D’Issere dijadikan tokoh pendukung yang membantu perjuangan para tokoh utama sesuai latar tempat yang diambil. Keunikan dari penokohan yang dilakukan oleh Matu Mona terletak pada asosiasi para tokoh utama dengan tokoh sebenarnya. Para tokoh tersebut dapat diasosiasikan dengan mudah kepada para pemimpin PKI yang berada dalam pengasingan sebagai imbas kegagalan revolusi 1926 melalui cara pandang, latar tempat dan kepribadian para tokoh bahkan pada beberapa tokoh hanya terjadi sedikit penyamaran nama. Dengan menggunakan asosiasi tersebut, Matu Mona mampu menghadirkan konflik, perdebatan bahkan intrik yang terjadi di kalangan gerakan sekaligus mengandaikan persatuan diantara para tokoh tersebut. Melalui narasi dan dialog para tokoh, Matu Mona menghadirkan penelusuran identitas kebangsaan Indonesia, penjajahan colonial dan kewajiban melawan penjajahan tersebut.

Roman Picisan Matu Mona

Picisan yang memiliki arti sepuluh sen ini merupakan roman tipis yang berjenis fiksi populer. Roman picisan merepresentasikan buku murah yang diterbitkan secara berseri, tidak memiliki estetika, dan tema universal seperti novel terbitan Balai Pustaka.
Pada masa Balai Pustaka, roman picisan memiliki ciri khas sebagai sebuah genre sastra. Roman ini memiliki kontribusi yang besar dalam perkembangan sastra karena menjadi bacaan yang digemari oleh pembaca dengan bahasanya yang segar dan akrab dengan masyarakat. Beberapa bagian dalam bahasanya yang berbeda akan peneliti paparkan berikut ini. Pertama, kata sapaan, pada roman PMI para tokohnya menyebut aku dengan kata beta dan saya, memanggil ibu dengan sebutan inangda, orang terkenal dengan orang termasyur atau tersohor, kamu atau kalian dengan kamu orang, saudara separtai dengan kameradden, keparat dengan hai celaka, orang yang lihai dengan orang yang licin bagai belut, teman dengan konco, seorang yang ajaib penghidupannya, seorang yang mempunyai darah ksatria, dsb. Kedua, pemakaian bahasa asing pun masih ditulis sesuai dengan aslinya belum diserap menjadi bahasa Melayu, seperti nasionalis dengan nationalist,sosialis dengan socialisist, nasional dengan nationaal, simpati dengan sympatie, bioskop dengan bioscoop, aktor dengan acteur, pelajar dengan student,minuman dengan champagne, gratis dengan free, koper dengan koffer, mobil dengan auto, dsb. Ketiga, penyebutan latar tempat dan sosial dalam karya ini sangat nyata, dalam menjelaskan kapan terjadinya dan dimana terjadinya peristiwa, Matu Mona menggunakan kata: konon, saban hari, sesore, lampau, perkampungan, Straits Settelements (Malaysia), Bandar Bangkok, dan kerajaan Gajah Putih (Thailand). Beberapa kata lainnya yang belum penulis temukan di karya-karya Balai Pustaka seperti: “jadi nyatalah kepada kami...”, “rewan bercampur hiba”, “dibukai”, “syakwasangka”, “tuan putri yang gilang gemilang parasnya”, “kiraikan”, dan “mambang”.
Genre roman picisan memang cukup banyak dihasilkan oleh sastrawan dari kalangan wartawan. Mereka menggunakan bahasa Melayu dan menggunakan latar cerita dengan memuat fakta historis. Seperti yang terlihat pada kutipan berikut ini.

Pada 11 Juli 1931 Pan-Malay Conference itu pun dilangsungkan di Manila. Tiga bulan sebelumnya sudah diundang beberapa pemuka-pemuka dari beberapa negeri Melayu.
Manila sengaja dipilih untuk tempat Congress itu. Karena di sana tidak dikhawatiri akan dibubarkan, umpamanya seperti yang dilangsungkan di Singapura, yang hampir tidak ada hak ber-vergadering bagi rakyatnya. (PMI,2010:159)
Bandar Bangkok ini, nona, adalah menjadi centrum-nya dari gerakan ‘jahat’ itu. Straits Settelements saya sudah jalani rata-rata dan mereka itu telah saya buru, maka belakangan saya mendapat kabar yang dipercaya bahwa mereka itu berkubu pula di Bangkok ini. Di sini, nona, adalah satu sanctuary bagi kaum politiek, karena undang-undang di negeri ini tidak mengizinkan menangkap pelarian yang melindungi dirinya di bawah naungan bendera Gajah Putih. (PMI,2010:28)

Matu Mona menarasikan kongres Pan Melayu dengan memberikan latar waktu untuk menunjukkan bahwa peristiwa kongres tersebut benar-benar terjadi. Pemakaian bahasa Melayu sehari-hari diungkapkan dengan kata-kata “...pemuka-pemuka dari beberapa negeri Melayu, Karena di sana tidak dikhawatiri..., umpamanya umpamanya seperti yang dilangsungkan di Singapura..., saya sudah jalani rata-rata dan mereka itu telah saya buru, maka belakangan saya mendapat kabar yang dipercaya”. Dan penggunaan bahasa asing seperti: conference, congress, sanctuary , Straits Settelements, dan vergadering.
Sebagai roman yang memiliki perbedaan dengan karya Balai Pustaka, kita dapat melihat bahwa gagasan dan hasil sastra yang dimuat dalam roman Medan tidaklah sama dengan novel Balai Pustaka. Selain itu, buku-buku roman Medan seperti roman picisan tidak akan mampu mendominasi kalau hanya mengandalkan terbitan di wilayah Sumatera, suatu hal yang berlainan dengan Balai Pustaka, misalnya, yang tersebar jauh lebih luas. Dalam roman picisan, karya sastra bisa dimanfaatkan untuk mengidolakan seorang tokoh, memberi nasihat, membuat rayuan, memprotes, dsb.