Sabtu, 12 Juni 2010

Kesaksian Politik Rendra

oleh: RolvNez

Siapakah W.S Rendra?
W.S. Rendra yang memiliki nama asli Willibrordus Surendra Btoto lahir di Solo, Jawa Tengah, 7 November 1935. Ia mendirikan Bengkel Teater di Yogyakarta pada tahun 1967. Pada perkembangannya Bengkel Teater dipindahkan Rendra di Depok. Rendra memiliki julukan Si Burung Merak karena sebagai penyair Rendra benar-benar seperti burung merak yang tengah mengembangkan bulu-bulu indahnya diatas panggung. Suaranya lantang, intonasinya jelas, gayanya ekspresif dan berjiwa.
Rendra memiliki ciri khusus dalam setiap karyanya, karya-karya Rendra penuh nilai dan moral serta berenergi membangunkan penikmat karyanya dari tidur pulas karena dipeluk materialisme, ketidakpedulian dan pengabaian, sekaligus menegakkan jiwa-jiwa lunglai karena bekapan tirani, penyimpangan dan kesewenang-wenangan.
Rendra memiliki peran penting dan strategis dalam dunia teater dan sastra dan relasinya dengan politik kebudayaan. Rendra memilih menancapkan keberadaannya sebagai sang pemberi kesaksian yang kritis dan berani. Seorang penyair atau sastrawan yang memposisikan diri dengan jelas dalam konstelasi sistem dan relasi-relasi kekuasaan yang melingkupi dunia dan karyanya.
Pada tahun 1970-an, Rendra melakukan perlawanan terhadap sistem politik dengan memakai media kebudayaan, yaitu puisi dan panggung teater. Ia juga pernah melakukan beberapa kegiatan unjuk rasa atau demonstrasi, tetapi tetap dalam konteks kebudayaan. Istilah yang digunakannya pun sangat kultural, “Malam Tirakatan” misalnya. Tujuan aksinya hanya berusaha untuk memberikan kesaksian sebagai bentuk perlawanan dan perjuangannya.


Relevansi karya Mastodon dan Burung Kondor dengan Situasi politik Indonesia
Karya drama Mastodon dan Burung Kondor merupakan salah satu karya kritis Rendra yang kontroversial dimasa Orde Baru. Karya yang berbau protes ini dikeluarkan oleh Rendra pada tahun 1978 dimana konsolidasi antara mahasiswa dengan militer mulai terpecah setelah kerjasama mereka yang harmonis ditahun 1966 dalam penggulingan Soekarno. Masa “bulan madu” ini mulai retak ketika Arief Budiman, dkk, mulai memprotes kebijaksanaan Orde Baru, misalnya dalam kasus pembangunan Taman Mini Indonesia Indah (TMII) tahun 1973.
Gerakan mahasiswa bangkit kembali awal tahun 1974. Ketika mahasiswa memprotes masuknya modal Jepang ke Indonesia. Kunjungan PM Jepang, Tanaka, di boikot dengan melakukan aksi massa besar-besaran di Jakarta. Hal inilah yang mengakibatkan ibu kota lumpuh total. Saat itu gerakan mahasiswa melakukan rally dari kampus UI Salemba menuju kampus Trisakti. Sementara rakyat “asyik” dengan aksinya sendiri, melakukan pembakaran terhadap mobil-mobil produk Jepang. Peristiwa ini yang kemudian terkenal dengan Malapetaka 15 Januari “Malari”.
Setelah empat tahun peristiwa Malari, baru gerakan mahasiswa “bangun” kembali dari masa istirahat. Pada tahun 1978 ini aksi-aksi mahasiswa terjadi di kota-kota besar seperti Jakarta, Bandung, Yogya,dan Surabaya. Aksi-aksi ini menolak pencalonan Soeharto menjadi presiden kembali. Karena aksi-aksi semakin membesar dan mengancam kekuasan Soeharto, maka militer diperintahkan untuk menghentikan aksi-aksi mahasiswa.
Fenomena perlawanan mahasiswa sepanjang 1973-1978 yang diakhiri dengan pembungkaman secara massif oleh rezim militer orde baru berhasil membawa efek politik yang kental terhadap karya Mastodon dan Burung Kondor yang menceritakan perlawanan mahasiswa terhadap rezim militer yang ingin membungkam aksi-aksi revolusioner mahasiswa yang jengah menghadapi kesenjangan ekonomi yang semakin brutal dan kediktatoran militer yang korup.
Karya Mastodon dan Burung Kondor bisa dikatakan sangat relevan dan kontekstual dengan suasana politik di Indonesia sehingga pementasan karya ini di Taman Ismail Marzuki pun harus dilarang oleh rezim yang berkuasa. Karya-karya Rendra yang berbau protes ini membuat Rendra pernah ditahan pemerintah berkuasa.

Heroisme Mahasiswa VS Kediktatoran Militer
Gerakan mahasiswa memiliki mitosnya sendiri dalam wacana pergerakan dimana gerakan ini dianggap memiliki posisi penting sebagai pendobrak perubahan di dalam sebuah sistem politik. Gerakan mahasiswa merupakan fenomena tersendiri dalam politik karena dalam beberapa kasus gerakan kaum muda terpelajar ini mampu menjatuhkan rezim yang berkuasa dan berani dengan lantang mengobarkan perlawanan terhadap sistem politik yang tidak adil sehingga gerakan inipun dianggap sebagai representasi yang paling murni dari gerakan rakyat dalam menuntut perubahan.
Fenomena gerakan mahasiswa sebagai pendobrak kekuasaan tidak hanya terjadi di Indonesia. Sepanjang abad 20, gerakan mahasiswa menemukan ruangnya yang fenomenal di seluruh dunia. Berawal dari perlawanan besar mahasiswa dalam revolusi spanyol di masa kekuasaan fasis Jenderal Franco, kemudian revolusi yang gagal di Perancis di tahun 1968 yang juga dimotori oleh gerakan mahasiswa yang mengadakan pemogokan besar-besaran selama 2 minggu dan berhasil melumpuhkan kegiatan ekonomi Negara tersebut. Amerika juga tidak luput dari fenomena gerakan mahasiswa, gerakan anti kebijakan rasial terhadap ras hispanik dan negro atau lebih dikenal sebagai gerakan “Viva La Raza” yang memakai metode walkout untuk mengawali aksinya disekolah-sekolah juga telah berhasil merubah kebijakan rasial di Negara itu.
Fenomena gerakan mahasiswa adalah fenomena heroisme kaum muda melawan kediktatoran politik. Namun tidak semua perlawanan ini gemilang. Sejarah mencatat bahwa gerkan mahasiswa berkali-kali gagal membawa perubahan dan bahkan terjebak dalam paradoks politik yang menyebabkan kekuasaan terlantar dan berakhir pada bergantinya diktator satu ke diktator yang lain. Seperti halnya di Indonesia, gerakan mahasiswa berhasil menggulingkan diktator sipil Soekarno dan menggantikannya dengan diktator militer Soeharto.
Sepanjang abad 20 juga dunia dihadapkan dengan permasalahan kediktatoran militer yang terjadi di beberapa Negara terutama Negara-negara berkembang. Kediktatoran militer yang membungkan seluruh hak kebebasan sipil dan penyeragaman ideologi ini dinilai sebagai masalah yang menghasilkan ketidakadilan dan penindasan. Fenomena inilah yang mengasilkan peristiwa-peristiwa perlawanan heroik sepanjang abad 20 yang mengilhami karya kritik Rendra.

Karya Mastodon dan Burung Kondor
Karya Mastodon dan Burung Kondor berhasil mengemas gejolak perlawanan mahasiswa melawan ketidakadilan rezim diktator militer dalam drama yang kritis dan imperative. Dalam karya ini, Rendra tidak hanya mengagungkan perlawanan mahasiswa terhadap ketidakadilan rezim. Namun juga mengemas kritik dalam dialognya. Kritik ini tidak hanya ditujukan pada rezim militer yang membungkam kebebasan berpendapat dan korup tapi juga pola gerakan mahasiswa yang selalu terburu-buru, heroik dan seringkali tidak berpijak pada kenyataan.
Karya ini juga berhasil menampilkan paradoks dalam gerakan mahasiswa yaitu intrik politik sesama struktur gerakan mahasiswa. Seperti pada dialog berikut,

Juan Frederico: Tidak kita akan memakai tangan orang lain untuk melemparkan kayu baker ke dalam bara api.
Hernandez : Bagaimana maksudmu?
Juan Frederico:Kita akan desak orang lain untuk melakukan aksi.
Hernandez: Jelasnya kita akan mempergunakan Jose Karosta

Rendra menganalogikan Mastodon sebagai penguasa dan Burung Kondor sebagai rakyat yang memiliki potensi berlawan. Seperti dalam kutipan berikut,

Jose Karosta : Aku memberi kesaksian bahwa naiknya pendapatan nasional tidak berarti naiknya pendapatan rakyat per kapita. Aku memberi kesaksian bahwa dibangunnya pabrik-pabrik untuk kepentingan modal asing tidak berarti mengurangi jumlah pengangguran. Aku telah melihat pabrik semir sepatu dengan modal asing didirikan di Kota San Pedro, hanya tiga puluh orang pribumi……….
Pemerintah telah bersungguh-sungguh membiba tenaga tidak untuk mobilitas,tetapi untuk kekukuhan, tidak untuk dinamis, tetapi untuk teguh dan angker, tidak untuk menciptakan semut-semut yang bekerja tetapi barisan gajah yang suka serba mempertahankan. Saya memberikan kesaksian akan adanya satu kekhawatiran bahwa gajah-gajah akan beranak pinak. Sehingga dalam tempo singkat seluruh padang belantara, diseluruh hutan rimba, di lembah-lembah dan bahkan di lorong kota akan di penuhi oleh gajah-gajah yang lalu menjadi mastodon-mastodon dengan gerak-gerak kaki yang terlalu berat dengan tubuh-tubuh yang terlalu tegak dengan gading-gading yang perkasa dan memusnahkan alam secara lahap.
Dan pada dialog berikutnya,
Gloria Del Bianco : Jose,kamu belum menuliskan dongeng dan kisah percintaan itu bukan? Kamu belum sempat menuliskannya dewasa ini kamu seerti mereka. Kamu menjadi burung kondor. Bedanya cuma ini. Mereka tidak menyadari keadaan mereka sedang kamu menyadari keadaanmu.
Jose Karosta : Burung kondor yang sadar, iya?

Tokoh utama pada karya drama ini yaitu Jose Karosta ditampilkan oleh Rendra sebagai tokoh heroik yang tak kenal menyerah menyuarakan penderitaan rakyat dan menyadarkan rakyat atas penindasan yang terjadi. Tokoh Jose Karosta memiliki kesamaan karakter dengan tokoh Jesus atau Don Quixotte dalam cerita rakyat Spanyol.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar