Oleh: Agnes Mayda Indraswari
Karya Sutardji Calzoum Bachri tak mudah untuk dibaca juga dipahami. Tidak seperti karya puisi pada umumnya, karya-karya Sutardji Calzoum Bachri menuntut pembacanya untuk memahami, menggali makna bebas yang dikandungnya hingga pembaca dapat memberikan makna sendiri sesuai kemampuan pembaca. Tautan kata dan ragam tutur yang Sutardji Calzoum Bachri berikan dalam tiap karyanya mampu memberikan ekstase perlawanan estetik dan metafisik dari sebuah puisi. Ia memberikan kembali kekuasaan bagi kata untuk menjadi kata tanpa harus terbelenggu moral kata, pesan, dan segala kekangan gramatikal melalui ragam tutur serupa mantra kebebasannya memainkan kata.
Karya Sutardji Calzoum Bachri dalam kumpulan tiga sajak O, Amuk, Kapak yang merupakan kumpulan puisi karyanya sepanjang 1966-1977 merupakan manifestasi dari keunikan pandangan dunia Sutardji Calzoum Bachri yang dapat dilihat melalui berbagai sisi dari falsafah hingga kesusasteraan. Karya inilah yang juga menjadi manifestasi dari pandangannya yang membebaskan kata untuk kembali menjadi kata.
Karya O, Amuk, Kapak mampu menghebohkan dan memancing pro-kontra dikalangan publik sastra. Karya ini mematahkan tabu penggunaan kata dan pemberian makna yang dilakukan oleh puisi. Donny Gahral Adian, dengan latar belakang filsafatnya memandang puisi-puisi Sutardji Calzoum Bachri bukan hanya sekedar puisi namun sebagai ”Esai filsafat tentang bahasa, khususnya kata”. Lebih dari itu, karya O, Amuk, Kapak juga seperti sebuah memoar perjalanan Sutardji Calzoum Bachri dalam mencari keberadaan eksistensi diluar eksistensinya melalui tiap gagasannya yang bergelombang sulit ditebak dan penuh kejutan. Usaha transedental dan mistis Sutardji Calzoum Bachri dapat ditemukan dalam puisinya yang berjudul ”Hyang, Mantra, Q, Amuk, dan Walau”. Memahami karya O, Amuk, Kapak Sutardji Calzoum Bachri sebagai usaha transedensi seorang penyair dapat merekam tiap langkah yang Ia jalani yaitu mantra, semangat nihilisme yang serupa dengan Nietzsche, kemudian unsur sufisme yang kental. Ketiga langkah inilah yang membentuk kesan bagi karya Sutardji Calzoum Bachri pada O, Amuk, Kapak.
Sutardji Calzoum Bachri dilahirkan di Rengat, Riau, 24 Juni 1941. Ia mulai menulis dalam surat kabar dan mingguan di Bandung ketika Ia masih berkuliah di Jurusan Administrasi Negara, Universitas Padjadjaran. Kemudian sajak-sajaknya dimuat dalam majalah sastra Horison dan Budaya Jaya serta ruang kebudayaan Sinar Harapan dan Berita Buana. Sekembalinya dari Amerika serikat Ia hijrah dari Bandung ke Jakarta. Lalu dia menjadi salah seorang redaktur majalah sastra Horison. Sutardji Calzoum Bachri tidak hanya menulis puisi, Ia juga menulis esai dan cerpen. Kumpulan cerpennya yang sudah diterbitkan adalah Hujan Menulis Ayam pada tahun 2001.
Perlawanan terhadap peradaban rasionalisme, positivisme dan modernisme dilakukan oleh Sutardji melalui kredo puisinya yang memandang bahwa kata bukanlah alat untuk menghantarkan pengertian melainkan pengertian itu sendiri. Ia juga membebaskan kata dari belenggu pemaknaan, tabu moral kata dan gramatika yang membatasi kata sebagai alat pengantar pesan.
Pemahaman ini dibuktikan oleh Sutardji melalui karyanya yang menggunakan ragam tutur serupa mantra. Mantra adalah ragam tutur yang digolongkan sebagai puisi bebas paling tua didunia sebab Ia tidak terikat pada aturan ketat seperti pada pantun, gurindam, atau syair. Mantra juga bisa disebut sebagai bahasa berirama. Mantra tidak menekankan pada makna, tetapi pengaruh magis dari kata-katanya yang membangkitkan asosiasi tertentu. Mantra sepenuhnya tidak rasional, tetapi sebagai ragam tutur estetik mantra memiliki maknanya sendiri.
Dalam antologi O bahasa mantra dapat ditemukan dalam sajak ”Mantra”;
Lima percik mawar
Tujuh sayap merpati
Sesayat langit perih
Dicabik puncak gunung
Sebelas duri sepi
Dalam dupa rupa
Tiga menyan luka
Mengasapi duka
Puah!
Kau jadi Kau!
Kasihku!
Dengan kembali ke mantra, Sutardji ingin kembali kepada semangat pawang ketika manusia belum dipengaruhi oleh paham falsafah keilmuan seperti rasionalisme, intelektualisme, materialisme, darwinisme, dan lain-lain. Sutardji ingin membalikkan pemahaman kaku yang berasal dari kekangan aturan yang membuat kata hanya menjadi pengantar pesan dan melawan bentuk bentuk baku dari sebuah apresiasi.
Sutardji Calzoum Bachri melalui keberaniannya melawan pakem aturan sastra menjadikan dirinya dan karyanya sebagai sebuah icon perlawanan sastra melalui nada pesimistik dan nihilistik dalam sajak-sajaknya. Sutardji yang membebaskan kata dari belenggu aturan dan makna telah memasukkan unsur posmodernisme yang mendobrak pakem materialisme dan positivisme khas peradaban modernisme bahkan jauh sebelum publik sastra mulai memperdebatkan pentingnya relevansi postmodernisme dalam karya sastra.
Namun kekuatan perlawanan Sutardji bukanlah berasal dari ide adopsi dari falsafah barat melainkan berasal dari usahanya mengembalikan kata menjadi kata itu sendiri. Kekuatan perlawanan Sutardji menemukan pijakannya pada ragam tutur mantra yang telah dimiliki oleh peradaban nusantara jauh sebelum Nietzsche menghembuskan nihilisme dan posmodernisme kedalam peradaban barat.
Keberanian Sutardji untuk melepaskan diri dari kekangan orientasi rasionalisme dan materialisme membuatnya mampu mengeksplorasi pengalaman religius, spiritual dan transedental yang Ia apresiasikan melalui karya-karyanya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar