Senin, 07 Juni 2010

Mengenal Analisa Kelas

Kamis, 2008 Juli 17
Mengenal Analisa Kelas
*Roliv

1. Pengantar

Bagaimana kelas-kelas sosial itu muncul di masyarakat?. Pertanyaan ini merupakan pertanyaan mendasar yang harus kita jawab dalam diskursus kita mengenai kelas sosial. Pertanyaan ini dapat di stimulus oleh pertanyaan yang mendasar, bagaimana manusia memenuhi kebutuhannya? Tentu saja jawaban yang wajar untuk pertanyaan ini adalah dengan kerja.

Kerja adalah proses produksi manusia dalam usaha pemenuhan kebutuhannya untuk mempertahankan hidup dengan menghasilkan komoditas (barang-barang) pemenuh kebutuhannya. Peoses pemenuhan kebutuhan ini mensyaratkan manusia untuk berinteraksi dengan alam sebagai bahan

baku

pemenuhan kebutuhannya, dalam proses pemenuhan kebutuhan inilah manusia kemudian menciptakan alat kerja untuk mempermudah proses produksinya.
Dalam sejarah perkembangan masyarakat pernah dikenal peradaban masyarakat tanpa kelas. Masyarakat tanpa kelas ini memiliki cirri bahwa produksinya dalam pemenuhan kebutuhan mengikuti kebutuhan seperlunya tanpa surplus melalui pengumpulan komunal dan distribusi komunal secara merata. Corak ini muncul pada awal peradaban manusia dimana corak produksinya masih mengandalkan interaksi langsung dengan alam seperti berburu dan meramu. Corak produksi ini bertahan selama ribuan tahun sampai akhirnya manusia menemukan teknologi pertanian dan munculnya kepemilikan pribadi.

Sisa-sisa dari corak masyarakat tanpa kelas masih dapat dilihat di beberapa daerah di dunia, seperti ; masyarakat Indian di pedalamn amazon atau yang lebih dekat adalah masyarakat pedalaman di papua. Kehancuran masyarakat tanpa kelas ini selain disebabkan oleh pergantian corak produksi juga dikemukakan oleh beberapa ahli bahwa terdapat juga factor perubahan lingkungan dimana manusia dalam corak masyarakat tanpa kelas di masa itu masih bergantung terhadap iklim sehingga kegiatan meramu dan berburu sangat bergantung pada kondusifitas alam sebagai penentu produksi pemenuhan kebutuhan.

Seiring dengan berkembangnya teknologi alat kerja ini, manusia dapat mempercepat proses produksi dan menambah jumlah hasil produksi sehingga dapat melebihi target pemenuhan konsumsinya. Di sisi lain perkembangan teknologi ini juga meningkatkan ketergantungan manusia kepada alat produksinya. Ketergantungan manusia pada alat inilah yang kemudian menjadi landasan dari sistem produksi manusia. Karena sistem produksi manusia tergantung pada alat maka siapa yang menguasai alat akan menguasai seluruh kehidupan manusia.

Corak masyarakat berkelas sangat erat kaitannya dengan penemuan teknologi pertanian yang lebih efektif dalam percepatan proses produksi dan pertambahan surplus produksi. Sejarah menunjukkan bahwa struktur masyarakat berkelas tidak datang dengan sendirinya melainkan melalui proses tahapan yang cepat dalam pemindahan bentuk kepemilikan dan transformasi sistem sosial.

Setidaknya, terdapat tiga penyebab yang saling berkaitan dalam proses pembentukan masyarakat berkelas, yaitu ; produksi yang melebihi target pemenuhan konsumsi (surplus) hal ini disebabkan oleh perkembangan teknologi alat produksi dan kemampuan produksi. Surplus ini telah memungkinkan terjadinya akumulasi terhadap hasil produksi dan kepemilikan indiviu atas hasil lebih itu merupakan kewajaran karena dalam pertanian hasil produksi yang lebih banyak dan konstan daripada berburu namun tidak dapat memberikan hasil yang berulang-ulang oleh karena itu hasil pertanian perlu disimpan.

Fortifikasi, yaitu adalah pembangunan benteng-benteng yang digunakan untuk melindungi surplus. Hal ini dilakukan sebagai upaya perlindungan hasil produksi dari pencurian dan perampasan dari kelompok masyarakat lain yang belum maju corak produksinya (masyarakat berburu). Fortifikasi juga memacu kemunculan sistem pertahanan teritori dan kehlian berperang melawan ancaman perampasan dari masyarakat di luar komunitasnya dalam bentuk perang. Hal inilah yang kemudian memacu terbentuknya satuan-satuan militer.

Hal lain yang tidak kalah pentingnya dalam pembentukan masyarkat berkelas adalah berkembangnya pengetahuan yang efektif untuk mendukung akumulasi pertanian. astrologi dan navigasi. Kemunculan astrologi ini merupakan bagian penting dalam sejarah karena inilah awal mulanya manusia meramalkan keadaan alam melalui perhitungan musim. Perhitungan astrologi ini sangat dibutuhkan oleh masyarakat yang menetap (inmaden) karena corak pertaniannya mensyaratkan pengelolaan tetap terhadap lahan. Pengetahuan ini tidak dibutuhkan oleh masyarakat berburu (nomaden) karena corak pemenuhan kebutuhan mereka masih melakukan akumulasi minimal dalam komunal dan tidak membutuhkan ketetapan lahan. Tentu saja perkembangan ilmu ini bukan mengrah pada astronomi yang ilmiah, Penjelasan – penjelasan mengenai gejala – gejala alam yang muncul lebih banyak mengandung mistik dan membutuhkan upacara-upacara simbolik sehingga hanya dimonopoli oleh beberapa orang yang dianggap bijak dan memiliki kemampuan supranatural.

Sistem masyarakat pertanian ini juga merupakan sistem masyarakat yang menetap sehingga membutuhkan pengaturan identitas kewenangan anggota di dalamnya dalam pembagian kerja dan pembagian hasil produksi. Hal ini kemudian yang memunculkan kebutuhan akan consensus-konsensus populasi dan sekelompok msyarakat yang bekerja untuk memastikan pengaturan itu berjalan.

Kebutuhan akan pengaturan inilah kemudin yang membagi masyarakat dalam sistem keluarga yang dilandaskan oleh hubungan kelahiran untuk memudahkan pembagian hasil produksi. Hal ini juga kemudian yang mewajarkan kepemilikan pribadi atas alat produksi dan hasil lebih produksi.

Sejarah manusia bergerak ketika alat produksi telah menghasilkan cukup banyak hasil sehingga berlebih kalau sekedar untuk memenuhi kebutuhan hidupnya sendiri. Alat produksi yang telah cukup maju untuk memproduksi hasil lebih ini kemudian menjadi sasaran perebutan antar berbagai kelompok. Kelompok-kelompok yang berhasil menguasai alat produksi ini kemudian memaksa mereka yang tidak memiliki alat produksi untuk bekerja, tidak untuk diri mereka sendiri, melainkan bagi mereka yang memiliki alat produksi itu. Dari pergerakan sejarah inilah lahir kelas-kelas dalam masyarakat. Di sisi lain, distribusi (pembagian) hasil produksi dan pola hubungan produksi secara teknis juga membutuhkan cara pengaturan yang efektif. Cara pengaturan ini kemudian memastikan pembagian hasil ke seluruh anggota masyarakat dan pada akhirnya membentuk kesepakatan-kesepakatan yang menjadi sistem sosial (tata nilai) yang berlaku pada masyarakat tersebut.

2. Konsepsi kelas

Kelas merupakan pengelompokan yang ada masyarakat, meskipun ada juga pengelompokan masyarakat yang tidak menggunakan kelas.

Ada

pengelompokan melalui penggolongan fisik (usia, jenis kelamin dan ras), penggolongan melalui status sosial (agama, kebangsaan dan pekerjaan), ada juga ahli yang mengelompokkan masyarakat melalui penghasilan dan golongan fungsional.
Berdasarkan pembahasan kita sebelumnya bahwa manusia berhadapan langsung dengan alat produksi dan hasil produksinya sehingga segregasi muncul melalui kepemilikan dan penaklukan, pengelompokan melalui penghasilan, status sosial dan golongan fungsional di atas tidak dapat menjelaskan dari mana asalnya kelas-kelas terbentuk dalam masyarakat. Pengelompokan model ini menjerumuskan kita pada pandangan bahwa masyarakat telah terkotak-kotak dan tidak saling berkorelasi. Sekalipun akan ada pandangan mengenai perubahan sosial dalam cara pandang ini yang terjadi hanyalah perbaikan/perubahan secara parsial tanpa memperhatikan dampak-dampak perubahan secara keseluruhan. Hal ini disebabkan oleh titik landasan analisanya yang lemah. Pengelompokan berdasarkan penghasilan (max weber) bersifat ahistoris karena tidak dapat menjelaskan darimana penghasilan itu muncul sedangkan konsep golongan fungsional (talcott parsons) mensegregasi masyarakat tanpa menjelaskan kenapa segregasi ini muncul.

Begitu juga dengan pengelompokan melalui penggolongan fisik, penggolongan seperti ini tidak memiliki implikasi apapun secara politik karena pengklasifikasiannya lebih bersifat historis daripada natural. Contohnya jika kita memandang penggolongan melalui ras, penggolongan ini lebih merupakan penggolongan sosial daripada biologis. Begitu juga penggolongan dalam gender yang kadang sering dilegitimasi sebagai penggolongan sosial rupanya lebih bersifat biologis.

Secara umum pembagian-pembagian kelas tak berhubungan dengan perbedaan-perbedaan yang alamiah; walaupun memang bisa saja pembagian kelas itu mengelompok ke dalam jenis ras yang sama, kelompok-kelompok etnis yang sama, menerobos garis usia dan jenis kelamin karena kelas terbentuk secara histories mengikuti perkembangan pola-pola pemenuhan kebutuhan hidup manusia dalm corak produksinya. Oleh karena itu, perkembangan kelas juga tidak berjalan linier dalam perdaban manusia. Perkembngan kelas dalam proses segregasinya membutuhkn syarat pokok segregasi yaitu perampasan hasil lebih.

3. Pembagian kelas

Pembagian kelas dapat dianalisa dari kemunculannya sejak adanya pembagian kerja antar anggota masyarakat yang berkaitan dengan penguasaan kekuatan produksi yang di dalamnya terdapat modal, alat produksi, keahlian produksi dan tenaga kerja. Yang dalam hal ini menghadapkan dua kelas yang saling bertentangan dalam masyarakat yaitu kelas berpunya yang memiliki kekuatan produksi (borjuis) dan kelas yang tidak berpunya alat produksi dan menjual tenaga kerjanya untuk bertahan hidup (proletariat) sebagai kelas fundamentalnya. Format pembagian kelas yang ada masih menyisakan hal-hal peninggalan corak produksi lama sekaligus menyambung cikal bakal corak produksi yang baru. Keadaan seperti inilah yang mampu menjelaskan keberadaan kelas-kelas non-fundamental.

Jika dikatakan bahwa klasifikasi dapat dilihat dari kepemilikan alat produksi maka secara formal kita juga akan mengalami kesulitan ketika melihat realitas seperti petani yang memiliki tanah seluas 0,8 hektar beserta alat pertaniannya berupa cangkul, bajak dan kerbau. Atau dalam kasus lain di perkotaan terdapat pedagang kaki

lima

yang memiliki panci dan kompor sebagai alat produksinya. Pertanyaannya adalah apakah mereka dapat di klasifikasikan ke dalam kelas borjuis? Bagaimana pula dengan pekerja lepas seperti kuli yang memiliki sekop dan peralatan tukang? Atau buruh yang memiliki warung di rumahnya?
Perlu diperhatikan di sini bahwa persoalan kelas tidaklah tergantung pada sembarang peralatan, namun peralatan-peralatan utama yang dipergunakan untuk memproduksi barang kebutuhan masyarakat secara keseluruhan. Mengapa demikian adalah karena "kelas" adalah kategori yang berada di tingkat pembahasan "masyarakat". Tingkatan masyarakat mencakup lingkup yang luas, karenanya dalam melihat peralatan-peralatan produksi ini kita juga harus melihat pada lingkup yang sama.

Jadi, dengan interpretasi di atas kita dapat mengetahui bahwa buruh tidak bersama-sama memiliki pabrik atau mesin-mesin pabrik, kuli tidak memiliki bersama traktor dan truck semen juga petani yang memiliki lahan sempit tidak memiliki mesin pertanian besar dan surplus produksinya hanya dapat memnuhi kebutuhan subsistennya. Sedangkan kaum borjuasi memilikinya.

4. Kesadaran kelas

Perbedaan relasi kepemilikan ini juga menentukan watak kelas karena merepresentsikan kepentingan kelasnya. Buruh yang tidak memiliki alat produksi dan bekerja secara terorganisir dengan upah regular meskipun tidak mudah untuk dibentuk, kesadarannya akan mengarah pada watak progresif berupa penguasaan bersama atas alat produksinya dan lebih sulit untuk digoyahkan ketika kesadarannya sudah terbentuk, petani yang memiliki relasi kepemilikan individu terhadapa alat produksinya akan mempertahankan kepemilikan individu terbatas pada lahan dan tenaga kerja terhadap pengelolaan tanah, ini dapat dilihat dari mudahnya petani terorganisir untuk melindungi kepemilikannya atas tanah sedangkan kaum pekerja lepas (sector informal, kuli) yang memiliki posisi yang paling tidak aman dalam sistem kapitalisme akan memiliki perhitungan jangka pendek sehingga ia akan mudah beralih keberpihakannya kepada kelompok mana yang dapat memberikannya keuntungan.

Kelompok lain yang sulit untuk di klasifikasikan kelasnya adalah kaum intelektual, seniman dan produsen jasa. Kaum intelektual memiliki keistimewaan dengan kemampuannya mengkonsepsi perkembangan teknologi sains ataupun sosial, namun karena posisi ini tidak mudah di akses oleh semua orang karena mahalnya biaya yang harus di keluarkan dan Golongan ini jelas tidak secara langsung menjadi bagian dari hubungan produksi.

Mereka menjadi bagian dari kekuatan produksi perusahaan pendidikan yang hidup dari upah. Tetapi, berbeda dengan proletar pada umumnya, kelas ini cenderung pada kepentingan kelas borjuis dan menjadikan

gaya

hidup borjuasi sebagai orientasi
gaya

hidup mereka. Anggota kelas ini, sebagian besar, bersama-sama dengan borjuis kecil dan petani pemilik lahan bisa saja aktif dalam setiap revolusi politik yang hanya mengganti satu golongan borjuis dengan golongan borjuis lainnya, tapi akan menjadi reaksioner dalam revolusi sosial yang mengubah tatanan sosial ekonomi secara mendasar karena kepentingan mereka terkait langsung maupun tidak dengan kepentingan borjuis.
5. Analisa Kelas

Analisa kelas digunakan untuk mengklasifikasikan masyarakat dengan memperhatikan relasi produksi atau kepemilikan atas alat-alat produksi utama dalam sistem sosial yanmg berlaku dan atribut sosial sebagai garis demarkasi sosial.

Analisa kelas dapat diopersionalkan dengan memahami konsepsi kelas dan membagi kelas sosial sesuai dengan kepemilikan alat produksinya yang dilanjutkan dengan menentukan watak kelas masyarakat tersebut, juga terlebih dahulu memetakan pergerakan ekonomi politik di daerah tersebut seperti arus modal, corak produksi dominan dan sistem politik yang berlaku.

Dialektika interaksi masyarakat dalam sistem sosialnya juga tidak bisa menetapkan manusia berketetapan dalam satu bentuk kelas dimana ia tergabung didalamnya. Hal yang perlu di perhatikan sebagai prinsip dialektika masyarakat dalam analisis kelas yang menetapkan masyarakat sebagai objek sekaligus subjek analisis adalah ; bahwa objek selalu dalam proses dan kategori objek merupakan tidak tetap (dinamik).

Dalam pengoperasionalan analisis kelas yang mengandalkan proses corak produksi dalam kapitalisme dipandang sebagai proses dan bukan klasifikasi tetap terhadap objek. Hal ini dapat diambil dari teori marxis tentang proses akumulasi modal.

M (money) – C (commodity) – M’ (money)’

Modal dalam teori ini bukan sekedar uang melainkan juga kekuatan produksi ; alat produksi, tenaga kerja, keahlian, uang. Akumulasi modal merupakan proses berkesinambungan bukannya tindakan ekonomi yang terpisah – pisah. Oleh karena itu analisa kelas harus dapat memahami proses proses interaksi objek dalam kelas dan antar kelas dengan corak produksi dan alat produksinya, analisa kelas juga harus dapat memahami kecenderungan – kecenderungan watak kelas yang muncul dalam proses akumulasi capital.

Sejak dulu, sudah ditancapkan dalam ingatan kita tentang Indonesia yang agraris, zamrud khatulistiwa, mayoritas penduduknya memiliki corak produksi pertanian dan lain-lain. Kita pun dengan tanpa berpikir dapat saja membenarkan tesis ini dengan argument-argument tambahan karena memang corak produksi pertanian masih dapat dilihat di setiap tempat di negeri ini.

Asumsi ini juga yang pada masa Orde baru dijadikan pembenaran atas penerapan teori agricultural first development yang menyebabkan petani Indonesia menjadi tergantung pada bibit-bibit pabrik dan pestisida tanpa memberikan perubahan pada alat produksi pertanian, transformasi teknologi pertanian dan industrialisasi pertanian sesungguhnya. Kini asumsi ini berbenturan dengan tesis bahwa Indonesia adalah Negara industri dilihat dari corak ekspor-impor substitusi yang sudah dijalankan oleh Indonesia sejak tahun 1970-an semenjak Indonesia mengambil developmentalisme (kapitalisme) sebagai landasan bagi teori pembangunannya.

Selain itu, ekspor-impor substitusi juga telah menghancurkan corak produksi Post-colonial yang menghasilkan bahan mentah dengan menggantikan produksi bahan mentah menjadi arang setengah jadi. Sehingga, dalam hal ini sektor agraria yang mengkhasilkan bahan mentah ikut terancam.

Namun, kapitalisme tidak hadir begitu saja tanpa lebih dahulu merampas alat produksi dari para pekerja bebas (seperti, nelayan atau tani) dan memaksa mereka untuk menjual tenaga sebagai proletariat di tempat merka berasal atau memaksa mereka keluar dari tempat relasi ekonomi asalnya. Kapitalisme juga membutuhkan lahan usaha, antara lain tanah dan juga wilayah laut, sebagai tempat penghisapan. Oleh karena itulah kelas-kelas lain dalam masyarakat juga berkonflik dengan kapitalisme.. Kasus penggusuran tanah, misalnya, memaksa petani kehilangan alat produksi mereka yang paling utama, yakni tanah. Karena mereka kehilangan tanah, mereka akan terpaksa memburuh di kota-kota besar dan selama enam bulan berikutnya mereka akan menjadi korban PHK massal yang menempatkan mereka menjadi kaum miskin perkotaan.

Untuk menempatkan tesis bahwa Negara tersebut adalah Negara agraris atau Negara industri haruslah dapat mengidentifikasi beberapa indicator pokok yaitu pada konsentrasi pemilikan alat produksi, konsentrasi angkatan kerja dan sumbangan sector ekonomi terhadap PDB nasional.

Pasca 1965, Orde Baru merupakan penganut setia teori Rapid Growth economic system dan mengaplikasikannya pada rancangan Pelita (Pembangunan lima tahun) yang mensyaratkan investasi asing dan dana pinjaman ke lembaga monoter internasional sebagai jaminan bagi terlaksananya pembangunan. Kebijakan ekonomi ini menghasilkan banyak perubahan dalam corak produksi masyarakat. Konsentrasi pembangunan di satu tempat (sentralisasi) juga ikut mempengaruhi perubahan preposisi perpindahan kelas social dan konsentrasi massa secara geografis.

Model Rapid Growth economy ini sangat bergantung pada besaran investasi yang masuk ke Negara dan satu-satunya cara menarik investasi adalah dengan memperbaiki iklim investasi yaitu dengan pencabutan subsidi, privatisasi asset Negara dan deregulasi yang mempermudah syarat-syarat masuknya investasi asing.

Investasi asing yang masuk ke Indonesia tidaklah tertarik dengan produksi bahan mentah pertanian karena arus akumulasi modal dari produksi bahan mentah sangat lamban belum lagi Negara-negara sentral (core) sudah menanggulangi ketergantungan akan bahan mentah dari Negara-negara perifeferi dengan teknologi yang mereka miliki, mereka lebih tertarik pada sector-sektor yang dominant yang dapat mempercepat akumulasi modal yaitu ekspor impor barang substitusi, manufaktur, pertambangan dan perbankan.

Jika dilihat melalui data BPS pada tahun 2007 mengenai jumlah angkatan kerja, menunjukkan bahwa hanya 41,8% angkatan kerja Indonesia yang bekerja di sektor pertanian. Lainnya bekerja di berbagai macam industri, mulai dari Industri Manufaktur (11,8%); Pertambangan, Energi dan Konstruksi (18,9%); Perdagangan dan Perbankan (19,9%); dan sisanya (10,6%) di sektor Jasa. Lebih jauh lagi, data Produk Domestik Bruto Indonesia tahun 2007 menunjukkan bahwa sektor pertanian hanya menyumbang 12,5% dari PDB. Sektor Industri Manufaktur menyumbang 25,6%; sektor Pertambangan, Energi dan Konstruksi menyumbang 17,2%; Perdagangan dan Perbankan menyumbang 20,9%. Sisanya yang 25,2% disumbangkan oleh sektor Jasa, termasuk transportasi.

Berdasarkan data kuantitatif diatas dapat disimpulkan bahwa, mayoritas rakyat Indonesia tidak lagi bekerja di sektor pertanian. Sekalipun jumlah orang yang bekerja di sektor industri manufaktur hanya sedikit lebih dari sepersepuluhnya, jika kita total semua orang yang bekerja dalam salah satu industri telah lebih besar dari 50% dari seluruh kekuatan produktif Indonesia. Kemudian, sektor pertanian sudah sangat kehilangan produktivitasnya. Sekian banyak orang yang bekerja di sektor pertanian itu tidak lagi memberikan sumbangan yang berarti bagi perekonomian Indonesia. Katakanlah seluruh pekerja di sektor pertanian mengadakan pemogokan total selama setahun, perekonomian hanya dirugikan tidak sampai seperlimanya.

Jika melihat preposisi perpindahan kelas dan dinamika konsentrasi geografis populasi, Mayoritas sirkulasi kekuatan produktif Indonesia tidak lagi terdapat di pedesaan, melainkan di perkotaan. Bukan saja secara kuantitatif yang bersangkutan dengan jumlah pekerjanya, melainkan dari tingkat produktivitasnya. Data kependudukan Indonesia telah dengan menunjukkan pada kita bahwa Indonesia kini adalah sebuah negara industri kapitalistik dengan preposisi perpindahan kelas yang tidak linier tetapi dinamik. Dengan demikian, tesis bahwa Indonesia adalah sebuah negeri agraris telah terpatahkan.

Setelah kita melihat bahwa Indonesia bukan lagi negeri agraris, melainkan negeri industri. Kita dapat melihat bahwa pengerukan keuntungan tidak lagi didasarkan pada penarikan upeti dari para hamba-sahaya, melainkan dari penghisapan terhadap hasil kerja, yang dilakukan dengan cara kapitalistik. Para preman dan tentara masih terus menarik "uang keamanan" - namun bukan ini yang melandasi keputusan politik, melainkan pasar saham. Sisa-sisa budaya feudalistik memang masih ada di Indonesia - namun, di negeri kapitalis yang termaju sekalipun nilai-nilai feudal ini (terutama yang menyangkut keluarga) masih juga terus dipertahankan. Tentu saja kapitalisme akan memelihara nilai-nilai feudal yang menguntungkan untuk kelanggengan kapitalisme. Tapi, nilai-nilai feudalistik bukanlah feudalisme. Jika kita menarik persamaan dengan sembarangan, kita akan terjebak pada hasil analisa bahwa di Indonesia masih ada feudalisme - dan feudalisme itu yang harus dilawan terlebih dahulu. Dan, jika kita berupaya menggulingkan sistem feudal dan mendirikan demokrasi liberal a la Barat, buat kita di Indonesia hari ini: kekuasaan feudal mana yang kita lawan? Sistem ekonomi-politik feudal mana yang hendak kita gulingkan

Tidak ada komentar:

Posting Komentar