sosialisme bukanlah populisme. Sebuah masyarakat dimana rakyat melihat negara, menyediakan kepada mereka sumberdaya-sumberdaya beserta jawaban atas seluruh masalah yang dialaminya. Sistem seperti ini, juga tidak akan mempercepat pengembangan kapasitas manusia; selebihnya akan meninggalkan rakyat yang memandang negara sebagai sumber jawaban dan juga pemimpin yang menjanjikan semuanya.
Lebih lanjut, sosialisme bukanlah totalitarianisme. Tepatnya, karena keberadaan manusia berbeda-beda dan memiliki kepentingan dan kemampuan yang berbeda, perkembangan mereka per definisi membutuhkan pemahaman dan penghormatan bagi kepelbagaian itu. Baik negara atau komunitas, tidak memiliki hak untuk memaksakan persatuan dalam aktivitas produksi, pilihan-pilihan konsumsi atau gaya hidup yang mendukung kebangkitan dari apa yang dikatakan Marx sebagai persatuan berdasarkan atas pemahaman yang berbeda (unity based upon recognition of difference).
Selain itu, kita membutuhkan pemahaman, karena sosialisme bukanlah pemujaan atas teknologi—–sebuah penyakit yang melanda Marxisme dan yang di Uni Soviet termanifestasikan dalam wujud pabrik-pabrik besar, pertambangan, dan pertanian-pertanian kolektif untuk mengamankan asumsi skala ekonomi. Sebaliknya, kita harus mengakui bahwa perusahaan kecil mungkin menjanjikan kontrol demokratik yang lebih besar dari bawah (yang berarti pengembangan kapasitas produser) dan mungkin juga lebih ramah lingkungan sehingga bisa melayani kebutuhan masyarakat.
Kita mesti belajar dari pengalaman abad ke-20. Kini kita mengetahui bahwa keinginan untuk membangun masyarakat yang baik untuk rakyat tidaklah mencukupi— Anda harus bersiap untuk keluar dari logika kapital jika ingin membangun dunia yang lebih baik. Dan, kita tahu, sosialisme tidak bisa direalisasikan dari atas melalui usaha-usaha dan instruksi-instruksi (tutelage) oleh para pelopor, yang mengambilalih seluruh inisiatif dan tidak percaya terhadap kemampuan massa.
“Kelas pekerja,” demikian Rosa Luxemburg dengan bijaksananya mengatakan, “membutuhkan hak untuk menciptakan sendiri kesalahan-kesalahannya dan belajar pada dialektika sejarah."
Ketika kita memulai dari tujuan sebuah masyarakat yang terbebas dari seluruh potensi-potensi keberadaan kemanusiannya dan memahami bahwa jalan untuk mencapai tujuan itu tak dapat dipisahkan dari kemampuan diri rakyat, maka kita bisa membangun sebuah masyarakat manusia yang sejati.
*di kutip dan diprovokasi oleh tulisan Michael A. Lebowitz
Tidak ada komentar:
Posting Komentar