Oleh: Roliv
Metode dialektika bukanlah metode yang diciptakan oleh Marx. Sejarah mencatat bahwa metode dialektika telah dipraktikkan untuk pertamakali oleh Zeno dari Elea (490 SM) seorang filsuf yunani kuno yang diabadikan oleh karya-karya dialog Plato dan dipraktekkan lebih intens lagi oleh Sokrates (470 SM).
Metode dialektika kuno secara konsepsi berasal dari metode pencarian kebenaran dalam bentuk tanya jawab (dialog). Metode ini mengawali pencarian kebenaran melalui sikap mempertanyakan segala sesuatu, mengoreksi rasio semua jawaban dan mengkonfirmasi jawaban untuk menguji ketersalinghubungan diantara jawaban-jawaban tersebut. Metode ini dianggap sangat efektif untuk mencari kebenaran pada masanya bahkan hingga saat ini metode dialektika masih dapat ditemukan dalam perdebatan-perdebatan dialogis sebagai taktik untuk mengalahkan argumen lawan bicara (reductio absordtum). Namun, metode dialektika kuno ini memiliki keterbatasan serius dimana metode ini tidak akan mampu menjawab permasalahn-permasalah non dialogis seperti pengetahuan empiris.
Hegel melalui pandangan metafisisnya dengan menekankan pandangannya pada logika membangun persepsi gerakan tritunggal yang disebutnya sebagai dialektika. Bagi Hegel, dialektika tidak lagi sekedar metode dialogis tapi juga metode mencari kebenaran universal. Hegel menggambarkan dialektika terdiri atas tesis, antitesis dan sintesis. Metode ini juga yang melahirkan filsafat sejarah Hegel. Dialektika Hegel selalu berupaya membangun sistem yang menjadi kebenaran absolut sebagaimana tradisi pendekatan filasafat pada umumnya yang membutuhkan kepastian awal dan akhir segala sesuatu. Konstruksi idealisme dan metafisis Hegel dijelaskannya melalui argumen bahwa perkembangan alam maupun masyarakat merupakan suatu upaya penyadaran diri yang dilakukan oleh roh (Geist), proses ini melibatkan transformasi terus menerus hingga mencapai puncaknya pada tahap “pengetahuan absolut”.
Berseberangan dengan Hegel, Marx menyatakan bahwa perkembangan masyarakat tidak didasarkan pada roh atau “pengetahuan absolut” akan tetapi berasal dari dampak kontradiksi dan interelasi material yang ada dalam alam dan dalam masyarakat. Meskipun begitu, Marx menemukan karakter revolusioner dari dialektika Hegel yang tidak pernah dijelaskan secara tegas oleh Hegel sendiri yakni, dialektika menempatkan segala sesuatu dalam gerak perubahan sehingga segala sesuatu yang ada pasti musnah. Diktum ini dengan sendirinya menghancurkan anggapan tentang akhir pengetahuan manusia atau ide absolut itu sendiri. Lebih jauh lagi dijelaskan oleh Engels dalam “Ludwig Feurbach dan akhir filsafat jerman (1886)” bahwa di tangan Hegel tidak ada lagi kebenaran berupa pernyataan dogmatis atau hasil kognisi yang kemudian hanya perlu dihafalkan dalam hati, kebenaran terletak pada proses panjang meraih pengetahuan, yang meningkat dari yang rendah hingga yang semakin tinggi tanpa pernah mencapai ujung.
Marx tidak meninggalkan dialektika, akan tetapi mencerabut akar idealisme dan metafisika dalam dialektika dan memberikan materialisme sebagai landasannya. Dengan begitu dialektika tidak lagi berjalan dengan kepalanya namun dengan kakinya dan tidak terpisah dari realitas.
Marx menerima pendapat Hegel dengan modifikasi dari materialisme. Marx menerima interaksi dialektika yang digagas Hegel, tapi menurut Marx itu gak terjadi di wilayah kesadaran manusia, Marx juga menolak gagasan Ruh Abadi yang menggerakan dialektika. Kesadaran manusia, secara dialektis berkembang karena dia "beraktivitas". Aktivitas dan interaksi manusia dengan dunianya lah yang mengembangkan kesadaran itu.
BalasHapus