Selama satu minggu aku menyelesaikan review jurnal komparasi politik untuk menyelesaikan tugas kuliah. jurnal yang kubaca ini termasuk jarang dipublikasikan apalagi di indonesia, masalahnya sederhana saja karena Sage Publication tidak menerbitkan jurnal gratis leat internet sementara mahasiswa seperti aku selalu berharap ilmu itu bisa didapat gratis. salah satu tema yang aku pilih adalah soal korupsi, yah memang masalah umum dan klise. tapi berbeda dengan bahasan lain tentang korupsi, artikel ini menyajikan dimensi yang lebih unik.
Pembahasan mengenai korupsi selalu mengarah pada bagaimana korupsi bermula dan apa dampaknya. pembahasannya pun seringkali berujung pada solusi tentatif ataupun penyimpulan yang fatalis. misalnya, beberapa ahli mengatakan bahwa seharusnya diadakan reformasi birokrasi agar korupsi dapat ditekan ke level terendah. solusi ini berdasarkan asumsi bahwa birokrasi merupakan akar korupsi untuk itu harus dirubah menjadi sistem organisasi yang efektif. berbeda dengan para ahi, para aktvis dan praktisi politik mengambil kesimpulan bahwa korupsi adalah penyakit negara dan harus diberantas tuntas sampai akarnya. asumsi ini mungkin sangat berpihak pada rakyat tapi menurut saya sendiri terlalu reduksionis karena isu korupsi akan bersinggungan dengan kenyataan relasi klientalis dan patronase politik.
kedua solusi ini seringkali menegasikan fenomena yang janggal dalam sistem demokrasi yang dipromosikan oleh mereka. fenomena kejanggalan ini bisa kita ringkas dengan pertanyaan "mengapa Pemerintahan korup tetap mendapatkan dukungan publik?". dalam artikel "Why do Corrupt Goverment maintain Public Support", Luigi Manzetti dan Carole J Wilson berpendapat bahwa masyarakat yang berada di Negara yang memiliki institusi demokratik yang lemah dan memiliki hubungan patron klien yang kuat cenderung mendukung pemimpin korup untuk mendapatkan keuntungan pribadi. dalam kondisi ini, isu korupsi dipersinggungkan dengan isu klientalisme politik sebagai fenomena respirokal.
Pembahasan mengenai korupsi politik yang hanya membahas akar dan dampaknya secara normatif seringkali melokalisir pembahasan mengenai korupsi politik dalam wilayah penegakan hukum dan tidak membahas secara spasial. dampak yang paling sering dlupakan dan coba diulas oleh artikel tersebut adalah dampak korupsi politik terhadap disfungsi demokrasi. dalam disfungsi demokrasi, korupsi politik menghasilkan dua aspek yaitu, apatisme masyarakat dan civil disondicene (ketidakpatuhan masyarakat). apatisme masyarakat terhadap politik yang dipicu oleh korupsi politik dapat ditelusuri di Indonesia ketika media secara terus menerus memuat kasus korupsi politik dan mendelegitimasi negara tanpa penyelesaian secara kongkrit oleh negara, dalam kasus indonesia masyarakat sudah mengetahui bahwa kasus korupsi politik terjadi di selueurh sektor pemerintahan baik pusat hingga daerah. media massa selalu menjadikan kasus korupsi politik sebagai headline dan seringkali beruntun selama beberapa edisi namun juga ditampilkan bahwa kasus korupsi selalu lolos dari ancaman hukum berat, para koruptor selalu mendapatkan remisi dan cenderung tetap tanpa cela bahkan masih dapat menjadi kontestan pemilu. fenomena ini mebuat masyarakat skeptis terhadapa penegakan hukum bagi para koruptor dan membuahkan sikap apatis terhadap dinamika politik. namun, tidak hanya berhenti disitu, masyarakat juga menangkap politik sebagai peluang ekonomi dan tidak perduli pada siapa yang dipilihnya karena dalam pandangan masyarakat para pemimpin politik sama saja hanya berakhir pada korupsi setelah ia berkuasa. pada tingkatan yang lebih ekstrim, pandangan skeptis masyarakat terhadap politik dapat melahirkan pemberontakan dan perlawanan masyarakat terhadap negara/civil disobdience, fenomena penggulingan kekuasaan baik secara langsung melalui people power ataupun seperti impeachment, mundurnya perdana menteri dan delegitimasi pemerintah.
korupsi memang selalu diupayakan menjadi definisi buyar dari penyalahgunaan kekuasaan untuk kepentingan pribadi hingga tindakan perusakan internal dalam sistem ataupun sekedar penyelewengan dana. namun solusi yang dihadirkan dengan hanya beranggapan bahwa reformasi birokrasi dapat memberantas korupsi tampaknya tidak begitu mendapatkan dukungan ketika disandingkan dengan isu klientalisme politik yang lebih rumit.
korupsi sebagai sistem respirokal dalam kekuasaan telah menjadi labirin dalam politik demokratis karena pembentukan kroni/klien dalam kontes pemilu telah menjadi kebutuhan utama dalam strategi pemenangan pemlu terutama di daerah yang luas dan jumlah pemilih yang banyak. dengan melakukan reformasi birokrasi dan memberikan kekuasaan kepada pemerintahan korup sebenarnya para pengusul pemberantasan korupsi hanya berbicara dengan mata tanpa otak.
korupsi sebagai sistem respirokal dalam kekuasaan aharus ditelisik lebih mendalam dari permasalahan apatisme masyarakat, civil disobdience, sistem pemilu dan regenerasi keuasaan bahkan aspek kultural.
ah mampat sudah otak ini,.. nanti disambung lagi deh...
Tidak ada komentar:
Posting Komentar